Enigma, dalam celah yang selalu aja sama

Menciptakan ruang untuk rasa aman sendiri bukan perkara gampang. Kadang butuh memutus banyak tali, membiarkan beberapa jendela tertutup rapat, dan diam tanpa harus menjelaskan kenapa. Di situ ada perlindungan, meskipun dunia melihatnya sebagai keasingan. Bukan menghindar, hanya tidak lagi ingin dilukai oleh skenario yang terus diputar ulang dengan aktor yang itu-itu juga.

Bau baunya sama, masih dan terstruktur. Tapi terkontrol ga? Lagi-lagi bikin alesan buat nutupin celah. Celah itu selalu ada, seperti lubang tusukan jarum yang dibiarkan menganga, menunggu darah menetes dan rasa bersalah ikut mengering bersamanya.

Kadang ingin berteriak, tapi kepada siapa? Kepada realita? Kepada memori? Atau kepada ilusi masa depan yang bahkan tak pernah sempat disusun dengan layak? Tidak dibelaki kemampuan khusus untuk dapat melakukan kontrol atas banyaknya fenomena model apapun yang akan terjadi, memang absur. Hanya bisa membiarkan diri tertimpa dulu, dan hanya berkutat pada hal terkait bagaimana caranya mengontrol reaksi dan memberikan respon terbaik aja.

Yang kedua, dari segala sesuatu yang pernah terjadi. Dari penghindaran panjang bahkan layaknya misteri yang tak pernah terpecahkan bak sebuah enigma. Dirintis oleh kesunyian. Membuat goyah, membuat gusar, namun juga membuatnya liar seperti tak pernah terkendali. Jan bicara mimpi!

Membenci dan mengutuk adalah adalah pola. Entah apakah esensinya beda antara ke manusia dengan Tuhannya sendiri. Seterah apa pun model kehidupannya, namun ternyata tak acuh dan berusaha tak peduli adalah pilihan yang bisa menyelematkan diri dari riak darah yang tak menentu. Menghindari didihan membuat rusak pada seluruh inti pada siklus. Jahat!

Kadang cuma pengen diem, nonton semuanya dari kejauhan. Tapi tahu nggak? Kebencian menciptakan banyak keajaiban. Kena sih, tapi tuh kadang senyum itu bukan karena bahagia, tapi karena akhirnya ngerti dari mana semua kebusukan itu bermula.

Segala pake kata “cara Tuhan nunjukkin busuknya orang tuh seru dah”, padahal mah busuk mah busuk aja kan ya. Pake dalil, pake perasaan, pake logika spiritual dan tapi ujungnya tetap pembenaran diri sambil injek kepala orang lain.

Topeng ga si itu mah, topeng ga si itu mah, esensinya apa coba. Kadang yang katanya “jujur” justru paling banyak selipan motif. Paling banyak niat yang disembunyikan di balik sudut mata yang pura-pura teduh.

Kalo emang suka membanding-bandingkan, jangan nanggung. Kalo suka menyalahkan, kenapa kaga nyalahin Tuhan atas semua kehidupan dan gerak-gerik situasi, sikap dan pola takdir aja? Aneh banget kalau salahnya selalu di luar, tapi merasa hidup ini adalah panggung yang dipentaskan atas nama pilihan pribadi.

Pernah merasa jadi satu-satunya yang sadar sesuatu aneh, tapi nggak bisa ngomong apa-apa? Karena ngomongnya malah bikin tambah ribet, bikin semua orang gerah. Jadi ya udah, simpan aja, bawa pulang, dan biarkan tumbuh jadi hutan kecil dalam kepala. Ngebul sendiri? ya emang orang lain peduli apa ama gitu gituan?

Kadang hidup ini terasa kayak nonton film yang terlalu lama, dan lupa kenapa awalnya betah duduk. Tapi ya gitu, ada rasa tanggung kalau berhenti di tengah, meskipun ending-nya udah kebaca sejak menit kelima.

Dan pada akhirnya, dari segala letupan marah, kecewa, diam dan ketawa palsu, cuma pengen dicatat satu hal: kalau semua ini bukan pengakuan, ya anggap aja catatan pinggiran. Karena mungkin besok akan muncul celah baru yang baunya masih sama, hanya dibungkus lebih wangi dari sebelumnya.

Lubang-lubang kecil yang katanya normal

Kadang hidup tuh ga jauh beda sama aktifitas ngoding, udah berasa kayak ngetik panjang-panjang tapi file-nya lupa disave. Dianggap sedang mencipta sesuatu, padahal cuma berkutat pada tab kosong yang tak pernah sempat dibuka ulang. Mungkin ini juga begitu. Masuk ke pola yang serupa: percaya, memberi ruang, lalu hampa. Anehnya, sekeliling tampak tenang-tenang saja.

Cek cek, memang absurd. Seketika kehidupan bergeming atas perlakuan terhadap permainan tanpa rasa bersalah. Seperti diberi papan catur, tapi tak satupun bidak bergerak, dan entah kenapa harus terus berpura-pura mengerti langkahnya.

Dulu pernah merasa cukup dengan proses, puas dengan keindahan tapak kaki dan jejak dari jemari lentik sendiri. Tak butuh hasil, tak cari pengakuan. Dulu memang slelau berkelut pada hal yang emang gabutuh hasil, dan dirasa gua juga akan hidup dengan proses. Tapi ternyata gitu ya rasanya sakit hati, bertubi-tubi dengan banyak skema model atau cara dekil dan kali ini masih berulang hingga menjadi kebiasaan untuk kesekian kalinya, meski memang bukan dengan hal serupa cara curang meremukkan segalanya. berulang ulang menciptakan lubang kecil sendiri, dan berulah bagai hal biasa yang lumrah. kenapa ya? bahkan sabar aja sekarang ga dibutuhin karna mayoritas sudah berubah, menjadi makin membabi buta menginjak seenaknya

Pernah nggak sih ngerasa udah jadi versi yang lumayan baik dari diri yang sebelumnya, tapi tetap dianggap sama saja? Bukan sedang menuntut keajaiban, tapi rasanya aneh juga kalau harus terus dipertanyakan meski sudah berulang menjelaskan. Engga malu? Hidup dengan banyak landasan yang gapernah bisa dipertanggungjawabi? Manusia memang berevolusi, berkembang. Tapi bukan berarti memunafikkan diri atas ego dan situasi hanya untuk menutupi kadar lubang yang dibuatnya sendiri, bukan?

Terkadang terasa seperti bersembunyi dibalik paradigma setan yang sering digunakan sebagai perhiasan makna. Yang salah dibiarkan, yang semu dikemas seolah luhur, dan yang jujur malah apaan? jangankan ditertawakan, ga keliatan.

Jika senar kusut, kesabaran mengurai segalanya. Tapi siapa yang masih bersedia duduk diam memisah benang satu per satu saat banyak tangan malah sibuk menambah simpul?

Jemari lentik yang sebenarnya menghasilkan ketentuan yang ambigu. Satu sentuhan bisa membalik segalanya, dan siapa yang bisa menyalahkan ketika semuanya sudah terlalu kabur bahkan untuk diingat?

Mungkin tulisan ini bukan bentuk keluhan. Hanya pengakuan diam atas tumpukan luka yang tak bisa dijelaskan satu per satu. Hari ini saja. Besok mungkin tak lagi ingat. Tapi setidaknya, ada satu lubang lagi yang terbuka di dinding sunyi, dan kali ini, tidak ingin buru-buru ditambal.

Tak lepas dari bias yang bohong

Terlalu banyak kisah dan cerita yang menarik, bertebaran dalam lintasan waktu yang seringkali membingungkan. Rasanya ingin berhenti sejenak, untuk sekadar bernapas. Namun justru waktu yang terus menghimpit membuat refleksi dan nostalgia terpaksa disimpan rapi di dalam diam. Padahal, diam itu menyiratkan banyak hal… termasuk kebahagiaan kecil yang tak sempat diceritakan pada catatan-catatan harian gua yang kayak gini.

Jika bermimpi tentang sosok bersayap gelap yang menatap tanpa kata, jangan takut. Itu artinya, dunia belum sepenuhnya hilang… masih ada satu malaikat yang berjaga. ~Seraphis. Kalimat itu entah bagaimana muncul kembali, di kepala yang sedang kebingungan mencari makna dari kehilangan, dari penjagaan yang tak tampak, dan dari kenyataan bahwa kadang yang gelap juga bisa menjadi pelindung.

Seperti hujan yang turun bukan untuk merusak, tapi justru menghujani dengan sangat hangat dan asam. Ia tidak merusak apapun, namun meninggalkan sensasi yang tak terungkap. Citra yang hadir dalam pandangan, tak dapat dijelaskan meski dilihat oleh mata yang telanjang secara verbal. Karena tidak semua yang nyata bisa dirumuskan, dan tidak semua yang terlihat bisa dipahami.

Dan dalam segala perubahan yang datang dan pergi, tetap ada satu hal yang tidak pernah berubah: kebohongan. Banyak hal yang mungkin bisa berubah, bisa tumbuh atau lenyap begitu saja, tapi bohong… bohong adalah kriteria yang ga akan pernah bisa lepas dari karakteristiknya. Mau sampai kapanpun, itu akan tetap jadi racun yang membekas yang saat ini gua klaim menjadi satu-satunya bagian yang tak akan pernah mungkin bisa lepas karena keabadian, ruh, emosinal dan bohong adalah bagian dari hidupnya.

Bukan bermaksud menjadi pendendam. Tapi kadang, benci pada tindakan atau ide saja tidak cukup. Hanya perlu benci pada tindakan atau ide, asal bukan orangnya  (eh, dua duanya ajadah), Tapi kayaknya gua akan benar-benar memasukkan satu orang lagi dalam muara kebencian. Apapun itu, dan pasti ga akan pernah mungkin gua maafin dalam seumur hidup gua. Meski terdengar kasar, ini yang sangat terbaik buat kestabilan hidup gua yang seringkali rapuh tanpa alasan.

Tapi sian banget. Pelakunya siapa dan yang kena imbasnya sekarang siapa? Kadang ga tega juga, tapi apapun yang membekas, ya udah membekas. Ga akan bisa merollback fenomena, meskipun kita tahu siapa yang salah, dan siapa yang harusnya gak kena.

Kenyataan tak pernah sesempurna itu. Tapi entah kenapa sekarang, walau hanya sebatas dan sesedikit itu, rasanya cukup. Rasanya mewakili. Bahkan jika itu cuma fragmen kecil dari keseluruhan rasa yang ga pernah bisa dituntaskan sejak awal.

Terlalu banyak even dan momen dari linimasa yang tak bisa kembali. Semua udah lewat, kayak fragmen yang pernah indah, tapi sekarang cuma jadi bagian dari cerita. Ada yang masih diingat, ada yang udah mulai pudar. Tapi semuanya punya satu kesamaan: ga bisa diulang lagi.

Kadang ingin nulis semuanya, nyeritain ulang detailnya. Tapi malah jadi takut sendiri. Takut kalimat yang dirangkai justru membuka luka yang udah susah-susah ditutupin rapi. Jadi lebih aman ditahan, ditulis setengah, atau dikodekan lewat metafora yang ga semua orang bisa pahami yang ujung ujungnya kek bangke.

Waktu udah nggak bisa ditawar. cuma bisa ikutin, sambil berharap sempat mencatat jejaknya dalam tulisan. Supaya nggak semua kenangan cuma berakhir sebagai angin yang numpang lewat. Setidaknya, ada yang bisa dikenang dari lembar-lembar pikiran yang pernah berani berkata jujur. tipikal yang amat berlawanan dari pembohongan entah mungkin masal dan masif

Banyak dari semuanya yang kehilangan sesuatu dalam proses dewasa, entah semangat, kepercayaan, atau bahkan diri sendiri. Tapi bukan berarti itu klaim sesuatu yang gagal. Kadang kehilangan adalah bentuk baru dari penemuan yang belum sempat dipahami.

Dan di akhir hari, setelah semua ini, setelah melihat bahwa ternyata kaki masih tetap berjalan. Dengan luka yang mungkin belum sembuh, dengan rindu yang belum sempat pulang, dan dengan senyum yang entah milik siapa. Tapi setidaknya, langkah tetap berlanjut. Dan untuk sepertiga kehadiran dalam ruang kantor yang sebeanrnya terkendala atas emosional yang merayap tapi juga mengikis pikiran dan ego yang muncul, menulis memang selalu gua rasa menjadi cara yanng amat teramat dan paling jujur untuk merasa hidup itu masih dijalani dan dikendalikan

Terpendam dalam bias asa

Di ‘umben’ yang sebagus ini, ada rasa yang terpendam dalam tiap jejak yang ditapaki. Dalam buana yang luas dan penuh mister, sering kalitemukan enigma yang membingungkan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa asa pada buana ini penuh enigma, namun diantara enigmanya terdapat juga nestapa dalam sagara

Beda banget ya, cara setiap orang menghadapi kenyataan yang ada. Dalam kehidupan, selalu saja sering dihadapkan pada pengalaman yang mengajarkan banyak hal, entah itu tentang menyikapi masalah atau menghargai hal-hal kecil yang terjadi di sekitar. Namun, terkadang masalah yang terlalu dianggap sepele, atau seperti masalah-masalah ‘bangke’ yang sering menghambat langkah, bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga.

Memang, buat yang kali ini, pengalaman menghadapi masalah dan hambatan tersebut menjadi sesuatu yang sangat berarti. Meski seringkali terasa menyebalkan, tapi dari situlah belajar tentang ketahanan dan ketegaran, belajar dari segalanya masih berlaku pada koridor yang nyata. Pengalaman ini mengajarkan bahwa dalam setiap kesulitan terdapat kias kias yang bisa diambil, apapun jenis pelajarannya.

Di sisi lain, gua termasuk orang yang aman dalam hal predikat keanehan. Tidak pernah merasa perlu untuk mengelak atau malu jika ada yang berkata aneh. Kenapa harus kaget terkait asumsi atau klaim sepihak dari orang lain yang menilai dari perspektif yang tabu sekalipun?

bagaimanapunjuga, keanehan memang menjadi bagian lain dari perspektif. memang bukan tipe orang yang ngelunjak mengenai tatatanan dan aturan yang ada, tapi selalu menjadi pribadi yang juga tidak terkejut saat dinilai aneh. Dalam setiap keanehan, ada ruang untuk memahami diri sendiri dan orang lain dengan lebih dalam.

Dan bukan rahasia lagi bahwa banyak yang berjuang dengan penyakit hati yang paling umum: emosi. Emosi adalah korosi yang perlahan mengikis ketenangan batin. Dalam menghadapi ini, perlu mengakui bahwa emosi memang bagian dari diri dan kehidupan, tetapi tidak harus menentukan arah dan keputusan kita dalam hidup.

Tidak pernah jauh dari kita adalah ujian yang bernama ‘Tergesa-gesa’. Ini adalah ujian yang sering kali dihadapi, tidak peduli siapapun orangnya atau kapan dan dalam rentang waktu mana siapapun itu berada dalam periodik kisah hidup seseorang. Mungkin saja semua perlu mengambil melalui mekanisme penarikan nafas yang teramat dalam, melangkah pelan, dan menghadapi hari dengan lebih tenang dan terkontrol.

Dalam mengarungi kehidupan, sering merasa seolah berada di tengah gelombang yang tak kunjung reda. Kadang juga harus mendapati diri bahwa merasa sebagai kapten yang cakap, di lain waktu, merasa seperti pelaut yang hilang arah. Namun, setiap pengalaman adalah pelajaran dan kayaknya ga bosen si dari setiap catetan gua balik lagi tentang ini semua, setiap hari adalah kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru.

Selalu ada cerita di balik mata yang memandang, cerita yang mungkin tidak pernah diduga sebelumnya. Setiap orang memiliki latar belakang dan alasan mengapa mereka bertindak atau merespons. Menghakimi dengan cepat bisa jadi adalah tindakan yang kita lakukan tanpa berpikir panjang, namun sering kali lupa bahwa empati adalah kunci untuk memahami yang lainnya lagi.

Di setiap perjumpaan dengan orang baru atau situasi yang tidak familiar, ada kecenderungan untuk cepat menarik kesimpulan. Namun, ketika kita mulai mendengarkan lebih dari sekadar berbicara, mulai melihat dunia dengan lensa yang berbeda. Dunia yang lebih luas, lebih kaya dengan perspektif dan pengalaman.

Semuanya tak terkecuali ciptaan jenis apapun memang berada dalam perjalanan yang serupa namun unik. Perjalanan yang mengajarkan tentang kesabaran, ketabahan, dan terkadang tentang melepaskan. Ada kalanya melepaskan adalah keputusan yang paling bijak, tidak karena kita kalah, tapi karena kita memilih untuk bertumbuh dari pengalaman tersebut, tapi emang kata-kata ini gapernah gua kasih karna itu semua adalah tai yang gua acuhkan dan selalu gua elakkan karna kebiasan perspektif dan sebenarnya adalah berusaha mengalah dari sifat gatau diri yang menjelma sebagai sosok yang pura-pura lugu polos tak bersalah.

Terkadang kita terlalu fokus pada tujuan sehingga lupa untuk menikmati perjalanan. kerana apapun itu dan bagaimanapun rupanya halusinasi yang dibawa dunia, bahwa dalam setiap langkah yang ada, setiap pemandangan baru, setiap senyuman yang dibagikan kepada orang lain adalah bagian dari cerita hidup yang luar biasa. Jangan biarkan kekhawatiran dan ketakutan mengambil alih keajaiban dari saat ini.

Melalui semua ini, belajar bahwa hidup adalah tentang menemukan keseimbangan, tentang memahami dan menyayangi bukan hanya orang lain, tetapi juga orang yang lainnya lagi. Di setiap enigma dan nestapa, ada pelajaran yang bisa diambil, ada kekuatan yang bisa ditemukan, dan pasti ada harapan yang tetap menyala, selama ada yang menjadi berani untuk dapat tetap terus berjalan, bagaimanapun rintangannya.

Sudut pandang baru tentang ‘riak’

Lagi-lagi berkutat pada sesuatu yang sangat enggan untuk diceritakan, sesuatu yang tak dapat dicuri dan sesuatu yang tak ada duanya dibumi ini. bak hembusan angin yang datang tanpa permisi, menyentuh tanpa bisa dnihindari. Menjadi salahsatu hal penting dan akan gua anggap untuk terus selalu penting. Kuatkanlah fisiknya, sinar kecil titik titik merah yang tak bisa dihindari, yang merupakan buah dan konsekwensi atas pilihan dengan tekad yang serius. membawa bekas yang selau menempel yang mungkin dengan kain-kain hitam yang melekat dan berganti tiap harinya. Kadang-kadang, kenyataan hadir tanpa aba-aba, membawa beban yang mungkin tak semua orang bisa pikul. Apreciate it for most

Di tengah semua ini, ada banyak cara untuk menyiasati keadaan. Lend me, menjadi lendme dan lenmi yang terbaca ga terlalu asing sekarang karna terucap dengan cepat dari kata lenmi lenmi lenmi. Permainan kata yang selalu menjadi kartu truf andalan gua yang sebenarnya selalu ada dalam satu momen perkataan yang memiliki arti yang bercabang dan sama-sama cocok untuk keadaan yang sedang berlangsung. Kata-kata yang tak ingin dimengerti oleh orang lain meski dalam bentuk status singkat yang akan menghilang dalam 24 jam.

Seharusnya jarak tak jadi penghalang, kan? Tentang semua hal yang berkaitan, mustinya jarak juga ga akan membuat masalah kan? Sesuatu menembus segala batas melebihi dasar terkuat. Kadang, keinginan untuk berada dekat lebih kuat dari sekadar realita yang sedang dijalani. Namun, ada hal-hal yang tetap harus diterima meskipun terasa berat. kekuatan itu emang bener ada ya? atau sugesti diri untuk menjadinya sebuah kata yang memiliki artian

Di balik semua ini, ada banyak penguat yang harus dijadikan sandaran untuk satu kehidupan, namun untuk menjadi kendali dan tanggung jawab. Untuk menjadi presisi dan menjaga keseimbangan, juga selalu yang diidam-idamkan. Setiap langkah yang diambil harus punya tujuan, meski jalannya seringkali berliku.

Kehidupan memang penuh dengan dinamika. Keduanya hebat, untuk semua hal ????. Mungkin tak selalu selaras, tapi ada keunikan dalam setiap perbedaan. Menjadi hebat tak melulu soal kemenangan, kadang hanya soal bertahan di tengah ketidakpastian.

Tak jarang, ada suara-suara yang menggema di kepala. Gak ayal selalu terngiang di telinga tentang beberapa kata seperti, “Mas tuh sok tau bikin gemes. Oon. Suka pura-pura ga ngerti.” Semua itu menjadi pengingat bahwa diantara sebalnya rasa, kesal dan tertawa, terselip diantaranya adalah emosi yang kelak akan nostalgia meskipun bukan kenangan yang tak akan kembali.

Mencoba memahami setiap sudut pandang memang tak mudah. Apapun tentang pengertian, dan presepsi akan kehadiran. Karna terlalu sukar untuk menjadi yang selalu ada. Namun semoga ini bisa sedikit atau total mengubah apa yang dijadikan tujuan. Mungkin tidak langsung terasa, tapi perubahan itu nyata, meski berjalan perlahan.

Setiap kisah punya caranya sendiri untuk bertumbuh. Mungkin ada bagian yang ingin dilupakan, tapi di sisi lain ada juga yang ingin diingat selamanya. Kehidupan mengajarkan banyak hal, tapi seringkali kita baru menyadarinya ketika semuanya sudah berlalu.

Dan pada inti akhirnya, semua orang sedang berusaha. Entah itu bertahan, mencari, atau hanya sekedar berjalan untuk tanpa titik tujuan. Tak ada yang benar-benar tahu ke mana arah yang pasti, tapi satu hal yang jelas: setiap langkah yang diambil adalah bagian dari perjalanan panjang yang tak bisa dihindari dan jika mengikuti alurnya, mungkin The watcher tak akan menggaggu seperti hal nya pada serial televisi what if yang sudah-sudah ditayangkan sebelumnya