Kadang hidup terasa seperti naskah yang nggak pernah terbaca sebelumnya. Manusia-manusia yang kayak kita yang cuma main peran berdasarkan kondisi sesuai situasi hati sendiri, tanpa tahu kapan adegannya selesai. Dan di tengah semua ketidakpastian itu, ada momen-momen yang menghantam begitu keras sampai rasanya dunia kerap menjadi berhenti sebentar. Iya sih sedih, seperti tahu bahwa ternyata di balik dinding rumah sakit banyak melibatkan banyak orang-orang yang berdoa yang paling tulus. Mereka bukan bagian dari drama besar yang dibicarakan di luar sana, tapi justru merekalah yang menjaga napas harapan agar tidak padam sepenuhnya.
Namun, tidak semua cerita kehilangan dibungkus sederhana. Ada kisah yang bentuknya seperti perumpamaan yang sangat panjang dan belibet, penuh lika-liku yang membuatnya lupa di mana awalnya dimulai. Cerita seperti ini bukan cuma tentang siapa yang pergi, tapi juga tentang semua percabangan rasa yang muncul dari setiap keputusan kecil yang pernah diambil.
Sering kali, kehilangan dibingkai dan dibungkus menggunakan narasi musibah atau x atau hal lain yang sekiranya bisa membuat orang-orang lain tertrigger untuk nggak bisa kontrol reaksi atas fenomena dan tujuannya agar percaya dan nggak nuntut. “Memang sudah jalannya,” atau “Itu sudah takdir” menjadi kalimat pengaman yang dipakai supaya semua padahal diam. Padahal di balik kalimat itu, ada luka yang nggak diobati, hanya ditutup rapat-rapat supaya nggak terlihat.
Lara dan kesedihan, bahkan nggak bisa bertahan lama meskipun elu tuh udah mati karena ada beban lain buat yang merasa ditinggal. Dan atas pembiaran yang hanya walau sekali itu. Setidaknya meski bukan bias rasa bersalah, namun menyesal menghampiri karena tidak tahu bahwa itu yang fatal. Rasanya seperti dipukul dari belakang saat sudah kelelahan berlari, kata bagusnya adalah ketika nggak siap, nggak sempat bersiap, dan hanya bisa menerima dalam keadaan kacau.
Kadang yang paling menyiksa bukan kematiannya, tapi semua hal yang terjadi sebelum itu. Percakapan terakhir yang dingin, pertemuan yang tertunda, tatapan yang nggak dibalas. Semua potongan kecil itu membentuk satu gambar besar yang cukup untuk bikin perasaan luntur melenyos dan ingin mundur serta mengganti satu momen saja, berharap itu cukup untuk mengubah akhir ceritanya.
Ketika luapan amarah yang keluar, entah karena terlalu banyak menahan dan memendam, berakhir dengan penyesalan yang nggak bisa dielakkan. Padahal banyak kesempatan buat memaafkan dan melihat. Tapi lagi dan lagi, Tuhan ngerasa seneng banget ngasih kematian dengan segampang itu. Rasanya seperti hukuman instan yang nggak ada ruang untuk revisi atau klarifikasi.
Musibah seperti ini selalu membuat orang bertanya, kenapa dia? Kenapa sekarang? Dan jawaban yang datang seringkali cuma potongan kalimat religius yang berfungsi lebih sebagai penutup percakapan ketimbang pembuka pemahaman. Mungkin karena memang tidak ada jawaban yang benar-benar memuaskan. Kehilangan tetap kehilangan, sekencang apa pun kita memeluk keyakinan bahwa ada rencana yang lebih besar yang dikecewakan.
Yang tersisa setelahnya adalah ruang kosong yang nggak pernah sepenuhnya terisi. dari ruangan yang sebenarnya cuma bisa mengisinya dengan aktivitas, dengan pekerjaan, bahkan dengan tawa palsu. Tapi di waktu-waktu tertentu, ya saat malam terlalu hening atau hujan terlalu pelan, celah mengerinyit dan menyakitkan dari ruang itu terbuka lagi, dan semua kenangan yang dipikir sudah rapi tersimpan kembali berantakan di lantai hati.
Ada orang yang memilih melupakan, tapi ada juga yang sengaja mengingat agar rasa bersalahnya tetap hidup. Bukan karena mereka suka menyiksa diri, tapi karena takut kehilangan rasa itu sama saja dengan kehilangan bagian terakhir dari sesuatu yang sudah pergi. Mengingat jadi semacam ritual yang menjaga keterhubungan, walau yang dijaga hanyalah rasa sakit.
Dan seperti semua rasa sakit, ia akan berubah bentuk. Awalnya tajam dan menusuk, lalu menjadi tumpul tapi berat, tak menyakitkan lagi namun tak bisa melepaskan diri. Bisa membawanya kemana-mana, tapi beban itu tetap terasa. Kadang malah lupa rasanya hidup tanpa beban itu. Ia jadi bagian dari identitas, sesuatu yang dikenali sebagai bagian dari terjemahan kata benda “kita” sekarang.
Perjalanan berdamai bukan soal menghapus luka, tapi menerima bahwa luka itu nggak akan pernah hilang. Ada hari di mana bisa tersenyum lebar, ada hari di mana cuma ingin tidur dan nggak bangun sampai rasa itu reda. Tapi redanya pun bukan hilang, tapi hanya berganti warna.
Pada akhirnya, kehilangan membuat mengerti bahwa waktu adalah mata uang yang paling mahal. Dan ironisnya, semuanya baru disadari nilainya saat tabungan itu sudah habis. Mungkin iya nggak bisa mengulang secara percis, tapi bisa memilih untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama walah reka adegan dan reaksi yang ada dihati sudah berbeda. Walau itu pun, kadang cuma doa yang dikirimkan kepada diri sendiri di tengah malam yang terlalu sunyi.
Dan di titik itulah, semuanya mulai berjalan lagi. Bukan karena sudah siap, tapi karena dunia nggak pernah memberi pilihan lain selain terus melangkah. Luka ikut berjalan bersama dan tidak lagi menyeret ke belakang, tapi mengingatkan bahwa setiap detik yang dipunyai sekarang adalah utang yang harus dibayar dengan hadir sepenuhnya.