Kadang emang bingung, di tengah pergeseran fungsi platform. Hal yang dulu buat berbagi, sekarang jadi tempat ngerasa bersaing tanpa kompetisi yang jelas. Semua ditakar dari siapa yang paling keras ngomongnya, bukan dari mana isi katanya berasal.
Gua sebenernya bukan karakter yang bakal nunggu mood gua bagus untuk bertindak, buat apapun itu. Kalau nunggu, keburu ilang bentuknya. Kadang justru saat paling berantakan malah jadi yang paling jujur. Saat semua terlepas dari skema rapi, dan tinggal sisa-sisa logika yang dipaksain nyambung.
Yang kedua, dari segala sesuatu yang pernah terjadi. Dari penghindaran panjang bahkan layaknya misteri yang tak pernah terpecahkan bak sebuah enigma. Dirintis oleh kesunyian. Membuat goyah, membuat gusar, namun juga membuatnya liar seperti tak pernah terkendali. Jan bicara mimpi!
Anjay, asik bat.
Transisi kepribadian manusia, banyak pasti yang bilang dan ngeiyain “Buyar kan ketika ada yang bilang manusia sepemaaf ini tapi yang dilihat cuma egoisnya aja, kocak.” Apa bedanya sama cerita si rajin yang tiba-tiba jadi yang suka cerita-cerita ngebanggain diri. Padahal yang gua tau, kala sisabar udah mulai ngomong ini, karakteristiknya menjadi berubah dan ini kalo dicerita dipengajian gua bisa aja jadi suul bukan si husnul
Selaras waktu mengasingkan diri dengan yang namanya dialektika pemikiran yang tak akan pernah mungkin bisa dapat berujung. Memuai sesuatu yang dikendalikan dan dirintis bukan oleh diri sendiri, memainkan banyak peran sampai lupa sesuatu menjadikannya menjadi bukan siapapun di sini.
Konsisten emang perlu. Memangku banyaknya hal dalam satu genggaman, meski sebenarnya kepalannya tak pernah sekuat dulu. Ini bahkan bisa menandingi harkat seseorang yang kita kenal sebagai ksatria muda dari Avalon yang berdarah campuran antara manusia dan peri yang mewarisi roh dari Excalibur.
Kadang suka mikir: siapa sih yang ngatur semua peta ini? Jalan hidup yang ngacak, perasaan yang lari kemana-mana, dan orang-orang yang datang tanpa kode etik, terus pergi tanpa pamit. Kalau ditanya rasanya kayak apa, paling cuma bisa bilang: ya udah, begitu.
Konsistensi merangkai banyak hal dalam cerita, tak pernah bosan, tapi membuatnya menjadi sepi. Bias lain dalam ranah yang sama, menghanyutkan. Lama-lama bisa jadi kecanduan narasi sendiri, padahal kenyataannya nggak pernah segitu indahnya.
Lucu sih, ketika yang dilihat cuma hasil akhirnya doang. Orang ngomong, “wah, enak ya hidup lo,” padahal yang dilihat cuma potongan paling terang di antara reruntuhan keputusan yang dulu penuh ragu.
Setelah urusan selesai, tak akan ada gemuruh. Barangkali hanya diam yang pelan-pelan menjemput, dan rasa lega karena tidak ada lagi yang perlu dijaga. Mati bukan musuh, justru itu kan yang dikatakan sebagai pelepasan diri dari benalu. Bahwa dari banyaknya desahan kata yang sering lu pada tau tentang gua, ga bakal heran kata-kata ini ada. Hanya perhentian terakhir dari semua kebisingan.
Tapi selama masih di sini, selama masih bisa nulis, ya terus aja ditulisin. Entah akan dibaca atau enggak. Entah ada yang paham atau malah diledek. Karena ini bukan tentang diterima, tapi tentang tidak menumpuk luka di dalam tanpa nama.
Kadang hidup ini bukan tentang menang. Kadang cuma tentang enggak nyerah, meski arahnya udah gak karuan. Kalau dipikir-pikir, mungkin yang paling berani adalah tetap jalan walau enggak yakin ujungnya bener.
Karena di akhirnya nanti, yang ditanya bukan siapa yang paling benar, tapi siapa yang tetap jadi dirinya sendiri walau dibentuk ribuan kali oleh keadaan yang tak pernah adil.