Ada malam-malam di mana mata terbuka lebar, tapi hati terasa sempit. Bukan karena masalah baru, tapi karena yang lama masih numpuk di pojok dan belum diberesin. Rasanya kayak duduk di ruang tamu kosong, tapi tahu bahwa ada yang berdiri di belakang pintu, ngetuk pelan-pelan tapi nggak mau disuruh masuk. Cuma nunggu capek duluan, lalu akhirnya buka sendiri. Malam itu cuma dihamparkan bak kain hitam, tapi cerita nyatanya ada di bintang-bintangnya. Bintang yang desain semula merupakan alat untuk pelempar setan, tapi entah kenapa sekarang malah jadi lambang harapan. Ironis ajasi.
Malam selalu menyimpan cerita yang nggak sempat diceritakan siang. Di saat semua orang tidur dan sunyi menguasai ruang, justru di sanalah segala suara batin paling keras berteriak. Yang kita kira udah selesai ternyata masih menyisakan bisikan. Yang kita pikir udah dimaafkan ternyata masih menyisakan rasa sesak. Dan lucunya, dalam gelap itu, perah yang lebih jujur ada. Karena nggak ada yang nonton, jadi nggak perlu berpura-pura kuat.
Beberapa rasa sakit datang seperti kejutan yang nggak pernah diminta. Datang tanpa membawa permen, pulang bawa pelajaran. Emang semua rasa sakit semuanya begitu? Yang tiba-tiba datang seperti tamu yang tak diundang, duduk di sudut pikiran dan menolak pulang meski kita udah bilang, “cukup ya.” Tapi siapa sih yang bisa ngusir perasaan? Kadang semakin diusir, dia malah makin betah. Semakin didiamkan, justru tumbuh.
Pernah nggak sih ngerasa udah cukup dewasa untuk paham bahwa nggak semua yang datang itu harus disambut? Tapi tetap aja, setiap kali rasa baru muncul, balik lagi ke titik nol. Nanya ke diri sendiri dengan suara kecil mengericit ini mau dibawa ke mana? Padahal jawabannya sudah sering ditemukan, tapi tetep aja pengen coba ulang. Mungkin karena manusia itu bukan makhluk pembelajar, tapi makhluk penasaran. Lebih suka mencoba jatuh daripada dikasih tahu bakal sakit.
Ada yang datang sekadar menyapa, ada yang datang untuk mengacak-acak. Ada yang cuma mampir lalu pergi, ada juga yang bertahan tapi kita harap mereka pergi. Semuanya sama dengan tujuan yang konsisten yaitu mengisi ruang yang semula kosong, meninggalkan sisa-sisa suara yang sulit dibungkam. Kadang nggak tahu harus marah ke siapa. Ke mereka yang datang? Atau ke diri sendiri yang terlalu gampang memberi kunci?
Meski diajari bahwa waktu menyembuhkan, tapi nggak ada yang bilang berapa lama. Ada luka yang bertahun-tahun nggak bisa kering, karena setiap kali hampir sembuh, ada satu kejadian kecil yang bikin ngelupas lagi. Dan tiap kali luka itu terbuka, rasanya seperti pertama kali. Perihnya nggak pernah beda, cuma cara menanggapinya yang berubah. Kadang diem, kadang marah, kadang pura-pura nggak terjadi apa-apa tapi tau kan bahwa ekspresi tidak bisa dibohongi.
Sakit itu bukan soal intensitas, tapi tentang posisi dan seberapa dalam dia ditaruh. Ada yang sakit karena beban yang hilang, ada yang sakit karena sesuatu yang tertinggal. Tapi yang paling susah itu sakit karena sadar bahwa semua ini adalah hasil dari keputusan tuhan yang ceroboh. Nggak bisa nyalahin siapa-siapa, karena dari awal memang tahu ini bakal berakhir buruk, tapi ga pernah jadi goblok sendiri karna tetap aja banyak yang jalanin.
Dunia nggak pernah janji bakal adil. Bahkan sejak kecil pun, banyak hal terasa janggal. Yang jujur dibilang bodoh. Yang manipulatif dipuji cerdas. Yang sabar dikira lemah atau goblok. Yang sensitif diminta tebalin kulit karena dibilang baperan. Dan yang peka, lama-lama jadi muak karena sadar peka itu hanya bikin lelah tanpa hasil kecuali dimanfaatkan. Semua nilai-nilai itu jadi bias ketika dijalani di dunia nyata yang serba abu-abu.
Kadang kita cuma pengen tidur panjang, bukan karena pengen mati, tapi karena pengen jeda dari kehidupan. Rehat dari semua keributan, dari semua ekspektasi, dari semua drama yang bahkan bukan milik siapa-siapa. Tapi sayangnya hidup nggak ada tombol pause. Jadi belajar bertahan meski bukan dengan semangat yang sama, tapi dengan sisa-sisa keinginan buat nggak nyerah aja hari ini.
Ada kalanya untuk sadar bahwa nggak semua hal harus dicari maknanya. Beberapa cuma perlu dilewati. Karena kalau semua ditanya kenapa, pasti dah tuh bisa bikin ngerasa gila sendiri. Lebih baik diem dan jalan pelan-pelan. Nanti juga ngerti walau akan terasa telat. Dan kalau pun nggak ngerti, ya udah. Kadang memang nggak ada pelajaran, cuma pengalaman yang lewat aja.
Dan saat akhirnya menengok ke belakang, mungkin bukan tentang siapa yang tinggal, tapi tentang siapa yang sempat nyentuh sesuatu dalam diri lalu pergi. Mereka nggak perlu kembali. Tapi kenangannya seringkali tinggal lebih lama dari yang disangka. Dan di sanalah, suatu proses pembelajaran bahwa kehilangan itu bukan soal akhir, tapi soal awal baru yang lebih sunyi.
Mungkin hidup memang bukan soal meraih. Tapi tentang berani menerima hal bahwa yang datang bisa hilang, yang dekat bisa menjauh, dan yang nyaman bisa berubah jadi yang paling menyakitkan. Tapi ya, di situlah letak keberaniannya, ya ini memang bukan pada hal punya segalanya, tapi tetap bisa bernapas meski kehilangan banyak hal tanpa pernah benar-benar siap.