Bahkan, semua tentang keterlambatan yang tak bisa dipungkiri

Ada rasa yang tak bisa diajak duduk diam, apalagi disuruh tenang. Ia hidup di sela-sela denyut jantung yang kadang normal, kadang sesak tiba-tiba. Ia bersembunyi di dalam sorot mata yang pura-pura kuat, tapi berkabut jika terkenang satu momen tertentu. satu momen yang tak ingin diingat, tapi terus datang tanpa permisi. Rasa itu bukan sedih, bukan juga sekadar kehilangan. Tapi gabungan dari semua hal yang tak sempat dilakukan saat seharusnya tangan diulurkan, mulut bersuara, dan keberanian dijemput.

Rasa itu tak akan pernah bisa tenang meski perlahan nyali Tuhan telah berpindah ke korbannya yang lain. Karena yang tertinggal bukan hanya jasad, tapi skenario yang gagal dilengkapi. Pertanyaan yang tak terjawab, isyarat yang tak ditangkap, atau mungkin doa yang datangnya telat. Tidak melulu menyangkal bahwa itu tentang mati, tapi tentang siapa yang tidak sempat datang untuk jadi hidup bagi yang pergi.

Kadang tubuh yang terlihat baik-baik saja, dengan banyaknya aktivitas yang berjalan, percakapan yang mengalir, tawa yang bahkan masih bisa diciptakan dalam gemuruh suatu percakapan yang terasa amat renyah dan baru. Tapi dalam satu waktu yang sunyi, rasa itu menyusup kembali. Ia tidak menyerang, hanya mengingatkan. Bahwa ada satu momen dalam hidup yang tidak akan bisa diperbaiki. Seperti lubang kecil yang tetap menganga meski telah ditambal ribuan kali oleh logika dan nasihat.

Tidak usai hanya dengan meratapi satuan detik waktu. Penyesalan tidak pernah memakai jam tangan. Ia datang kapan pun, bahkan di hari-hari yang terlihat terang. Ia menyelinap saat sedang mencuci tangan atau membuang sampah, hal-hal remeh yang tiba-tiba menjadi pintu ke memori yang tidak pernah bersih.

Ada kesalahan yang tak bisa dibasuh dengan permintaan maaf. Karena yang terluka bukan hanya hati orang lain, tapi juga bagian terdalam dari diri sendiri. Kadang luka itu justru membuat kita sulit memaafkan diri sendiri. Karena tahu bahwa andai bergerak lebih cepat, hasilnya mungkin tidak seperti ini. Tapi waktu, seperti makhluk Tuhan bernama kematian itu, tak bisa memberi toleransi bahkan sedikit pun.

Terlambat menyelesaikan. Terlambat menolong. Terlambat memahami isyarat. Semua itu menumpuk jadi satu beban yang tak bisa dibagikan, karena orang lain mungkin tak akan mengerti. Mereka bilang, “sudah, jangan disesali,” tapi bagaimana bisa? Rasa bersalah punya lidah sendiri yang terus berbicara bahkan di tengah tidur kosong yang tidak memiliki mimpi.

Ada bagian dari hidup yang memang tidak akan pernah selesai. Bukan karena belum diakhiri, tapi karena terlalu dalam untuk bisa disimpulkan. Sukar untuk bisa menulis ulang ceritanya dalam kepala, tapi tetap saja akhirnya akan sama. Karena kenyataan tidak bisa diubah hanya dengan pikiran.

Dan di sanalah, orang lain mengambil manfaat untuk mulai mempelajari bahwa hidup memang berdampingan dengan luka. Bukan untuk menyembuhkannya, tapi untuk mengenal bentuknya. Mengetahui kapan ia datang, dan bagaimana menghadapinya agar tidak meledak sembarangan. Karena luka yang ditekan terlalu lama, bisa menjelma amarah ke orang yang salah. Tapi dari semua pembelajaran ada, memang harus ada korban yang murni dapat dilihat dan dipelajari. Ini sama saja seperti manusia yang menjadi experimen, dipelajari namun dengan cara mengorbankan yang lainnya.

Rasa bersalah yang seperti api kecil yang tidak pernah padam. Tidak membakar, tapi menghanguskan pelan-pelan bagian dalam yang paling rapuh. Ia menyamar jadi ragu, jadi penundaan, jadi kecemasan yang tidak masuk akal. Dan sesuatu yang memeluknya terlalu lama, lama-lama menjadi bagian dari bara itu sendiri.

Tapi hidup tetap harus berjalan, meski dalam hati ada ruang yang retak permanen. Belajar bergerak bukan karena sudah sembuh, tapi karena tidak ingin terlihat mati dalam rasa yang sama setiap harinya meski kehidupan yang dijalanin adalah kesukaran yang sangat basi. Belajar lagi untuk memeluk diri sendiri, bukan karena kuat, tapi karena tidak ada yang bisa benar-benar paham beratnya luka yang di simpan bahkan sekalipun itu adalah Tuhan.

Ada doa-doa yang tidak pernah sampai, tapi tetap dikirimkan setiap malam, bukan karena merayu namun menjadi kebiasaan. Bukan karena berharap jawaban, tapi karena ingin bicara pada semesta yang bisu tuli dan buta bahwa sebenarnya masih tersimpan sesuatu di dalam diri. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tapi terlalu penting untuk dilupakan.

Dan setiap kali malam datang, melulu untuk berhadapan lagi dengan rasa tersebut. Tapi karena memang bukan untuk dikalahkan. Hanya untuk diingatkan. Bahwa pernah ada detik-detik yang gagal untuk kejar, dan itu tidak pernah apa-apa mengingat semua pola mengindikasikan pada jalur yang sama. Bukan untuk dimaafkan, tapi untuk diterima. Karena tak semua yang terlambat bisa dibenarkan. Tapi semua yang sudah terjadi… sudah menjadi bagian dari kehidupan yang dari sananya memang didesain.

Lalu melanjutkan hidup. Bukan sebagai orang yang sama, tapi sebagai seseorang yang pernah terlalu lambat, terlalu diam, dan terlalu takut. Tapi setidaknya masih bernapas, masih berjalan, dan masih mengandai-andai apakah ini artinya untuk tidak mengulang hal yang sama atau karna itu adalah pola jadi akan selalu kabur, meski sesekali rasa itu tetap muncul, untuk bilang bahwa waktu tidak bisa diulang, dan yang terlambat… memang tidak akan pernah selesai.

Yang Tak Diundang, Tapi Suka Datang Tanpa Permisi

Ada malam-malam di mana mata terbuka lebar, tapi hati terasa sempit. Bukan karena masalah baru, tapi karena yang lama masih numpuk di pojok dan belum diberesin. Rasanya kayak duduk di ruang tamu kosong, tapi tahu bahwa ada yang berdiri di belakang pintu, ngetuk pelan-pelan tapi nggak mau disuruh masuk. Cuma nunggu capek duluan, lalu akhirnya buka sendiri. Malam itu cuma dihamparkan bak kain hitam, tapi cerita nyatanya ada di bintang-bintangnya. Bintang yang desain semula merupakan alat untuk pelempar setan, tapi entah kenapa sekarang malah jadi lambang harapan. Ironis ajasi.

Malam selalu menyimpan cerita yang nggak sempat diceritakan siang. Di saat semua orang tidur dan sunyi menguasai ruang, justru di sanalah segala suara batin paling keras berteriak. Yang kita kira udah selesai ternyata masih menyisakan bisikan. Yang kita pikir udah dimaafkan ternyata masih menyisakan rasa sesak. Dan lucunya, dalam gelap itu, perah yang lebih jujur ada. Karena nggak ada yang nonton, jadi nggak perlu berpura-pura kuat.

Beberapa rasa sakit datang seperti kejutan yang nggak pernah diminta. Datang tanpa membawa permen, pulang bawa pelajaran. Emang semua rasa sakit semuanya begitu? Yang tiba-tiba datang seperti tamu yang tak diundang, duduk di sudut pikiran dan menolak pulang meski kita udah bilang, “cukup ya.” Tapi siapa sih yang bisa ngusir perasaan? Kadang semakin diusir, dia malah makin betah. Semakin didiamkan, justru tumbuh.

Pernah nggak sih ngerasa udah cukup dewasa untuk paham bahwa nggak semua yang datang itu harus disambut? Tapi tetap aja, setiap kali rasa baru muncul, balik lagi ke titik nol. Nanya ke diri sendiri dengan suara kecil mengericit ini mau dibawa ke mana? Padahal jawabannya sudah sering ditemukan, tapi tetep aja pengen coba ulang. Mungkin karena manusia itu bukan makhluk pembelajar, tapi makhluk penasaran. Lebih suka mencoba jatuh daripada dikasih tahu bakal sakit.

Ada yang datang sekadar menyapa, ada yang datang untuk mengacak-acak. Ada yang cuma mampir lalu pergi, ada juga yang bertahan tapi kita harap mereka pergi. Semuanya sama dengan tujuan yang konsisten yaitu mengisi ruang yang semula kosong, meninggalkan sisa-sisa suara yang sulit dibungkam. Kadang nggak tahu harus marah ke siapa. Ke mereka yang datang? Atau ke diri sendiri yang terlalu gampang memberi kunci?

Meski diajari bahwa waktu menyembuhkan, tapi nggak ada yang bilang berapa lama. Ada luka yang bertahun-tahun nggak bisa kering, karena setiap kali hampir sembuh, ada satu kejadian kecil yang bikin ngelupas lagi. Dan tiap kali luka itu terbuka, rasanya seperti pertama kali. Perihnya nggak pernah beda, cuma cara menanggapinya yang berubah. Kadang diem, kadang marah, kadang pura-pura nggak terjadi apa-apa tapi tau kan bahwa ekspresi tidak bisa dibohongi.

Sakit itu bukan soal intensitas, tapi tentang posisi dan seberapa dalam dia ditaruh. Ada yang sakit karena beban yang hilang, ada yang sakit karena sesuatu yang tertinggal. Tapi yang paling susah itu sakit karena sadar bahwa semua ini adalah hasil dari keputusan tuhan yang ceroboh. Nggak bisa nyalahin siapa-siapa, karena dari awal memang tahu ini bakal berakhir buruk, tapi ga pernah jadi goblok sendiri karna tetap aja banyak yang jalanin.

Dunia nggak pernah janji bakal adil. Bahkan sejak kecil pun, banyak hal terasa janggal. Yang jujur dibilang bodoh. Yang manipulatif dipuji cerdas. Yang sabar dikira lemah atau goblok. Yang sensitif diminta tebalin kulit karena dibilang baperan. Dan yang peka, lama-lama jadi muak karena sadar peka itu hanya bikin lelah tanpa hasil kecuali dimanfaatkan. Semua nilai-nilai itu jadi bias ketika dijalani di dunia nyata yang serba abu-abu.

Kadang kita cuma pengen tidur panjang, bukan karena pengen mati, tapi karena pengen jeda dari kehidupan. Rehat dari semua keributan, dari semua ekspektasi, dari semua drama yang bahkan bukan milik siapa-siapa. Tapi sayangnya hidup nggak ada tombol pause. Jadi belajar bertahan meski bukan dengan semangat yang sama, tapi dengan sisa-sisa keinginan buat nggak nyerah aja hari ini.

Ada kalanya untuk sadar bahwa nggak semua hal harus dicari maknanya. Beberapa cuma perlu dilewati. Karena kalau semua ditanya kenapa, pasti dah tuh bisa bikin ngerasa gila sendiri. Lebih baik diem dan jalan pelan-pelan. Nanti juga ngerti walau akan terasa telat. Dan kalau pun nggak ngerti, ya udah. Kadang memang nggak ada pelajaran, cuma pengalaman yang lewat aja.

Dan saat akhirnya menengok ke belakang, mungkin bukan tentang siapa yang tinggal, tapi tentang siapa yang sempat nyentuh sesuatu dalam diri lalu pergi. Mereka nggak perlu kembali. Tapi kenangannya seringkali tinggal lebih lama dari yang disangka. Dan di sanalah, suatu proses pembelajaran bahwa kehilangan itu bukan soal akhir, tapi soal awal baru yang lebih sunyi.

Mungkin hidup memang bukan soal meraih. Tapi tentang berani menerima hal bahwa yang datang bisa hilang, yang dekat bisa menjauh, dan yang nyaman bisa berubah jadi yang paling menyakitkan. Tapi ya, di situlah letak keberaniannya, ya ini memang bukan pada hal punya segalanya, tapi tetap bisa bernapas meski kehilangan banyak hal tanpa pernah benar-benar siap.

Namanya sunyi, simpulnya koyak

Kadang dunia terasa terlalu ramai untuk bisa benar-benar dimengerti. Terlalu banyak suara, terlalu banyak maksud, dan terlalu banyak persepsi yang saling meninju satu sama lain hanya karena tak bisa berdamai dengan sudut pandangnya sendiri. Entah kepentingan siapapun bisa berbenturan satu sama lain meski mereka tinggal dengan tanah yang sama, atau atap yang sama bahkan mungkin saling menghirup nafas yang sama.

Ada banyak peristiwa yang tak perlu diceritakan tapi sudah menjadi predikat rahasia umum atau memang bukan jadi hal baru lagi. Bukan karena tak penting, tapi karena terlalu rumit untuk diceritakan tanpa dipelintir jadi sesuatu yang terdengar lucu atau salah. Jadi akhirnya dipilihlah diam, biar nggak makin kacau.

Maria ‘Magdilemma’, satu sunyi menyambung banyak angan-angan terkait ilusi yang selalu menjadi bagian dari keinginan manusia. Mundur pada deskriptif statik guyonan keterbelakangan mental yang tak pernah berakal, setidaknya membersihkan diri dari pemikiran. Nama yang tidak dimengerti, tapi terus disebut. Simbol dari sesuatu yang bahkan tak pernah hadir sebagai nyata.

Banyak yang terlalu semangat mencari makna, sampai lupa bahwa beberapa hal memang diciptakan tanpa maksud. Hanya eksis. Hanya lewat. Hanya untuk melihat siapa yang terlalu ambisius untuk mengartikan semuanya.

Mengagumi pendapat sendiri seraya merendahkan orang lain, itu tuh emang penyakit yang sering menular lewat percakapan santai. Terlihat cerdas, terdengar meyakinkan, padahal hanya keinginan untuk menjadi yang paling benar. Padahal, kadang dunia tidak butuh kebenaran. Cukup sedikit belas kasih, atau sikap acuh yang akhirnya menjadi kemenangan atas kegusaran.

Simpul yang mungkin koyak, mengikis asa namun tetap bisa bertahan meski tak perlu ombang-ambing ujiannya. Tidak harus menjadi besi untuk mendapatkan korosi, dari oksigen kebutuhan utama yang justru menghancurkannya perlahan. Begitu juga manusia seperti itu. yang bahwa terkadang sesuatu teramat paling dibutuhkan itu yang kian menjadi eksistensi yang paling menyakitkan.

Ada hari-hari di mana semua terasa baik, tapi bukan berarti tidak ada yang salah. Hanya terlalu lelah untuk memperkarakan lagi. Mungkin bukan legawa, tapi hanya mekanisme bertahan yang sudah terlalu sering dipakai.

Bukan tidak ingin bicara, hanya tidak yakin apa masih ada yang mendengar. Atau lebih tepatnya, masih adakah yang mendengarkan tanpa niat menjawab? Karena banyak dari kita hanya menunggu giliran bicara, bukan benar-benar menyimak. dan sisanya? hanya berkutat pada scroll scroll konten tanpa esensi interaksi sosial

Terlalu banyak kata yang ingin disampaikan, tapi bingung mau mulai dari mana. Seolah setiap kalimat adalah pintu ke luka baru yang belum sempat ditutup. Jadi, ya gitu. Diputar-putar aja dulu, siapa tahu nanti ada yang bisa dicerna.

Kadang kesepian justru datang saat sedang bersama. Karena sebetulnya bukan soal jumlah orang, tapi kualitas keberadaan. Ada yang hadir, tapi hampa. Ada yang jauh, tapi tetap mengisi ruang dalam kepala.

Semua orang pernah salah langkah, tapi tidak semua mau berhenti sejenak untuk menilai kembali jalannya. Ada yang memilih terus maju walau tahu jurangnya dekat, karena takut terlihat ragu. Padahal berhenti bukan selalu tentang menyerah. Kadang justru itu bentuk keberanian.

Tertawa juga tidak selalu karena bahagia. Kadang karena lelah menjelaskan. Atau karena sudah tidak punya energi untuk menjadi marah. Jadi ditertawakan saja, biar tidak terasa sekelam itu di kepala.

Pernah nggak sih ngerasa seakan semunya menjadi berubah, padahal mungkin cuma kita yang udah beda cara pandangnya? Bisa jadi bukan mereka yang berubah, tapi kekecewaan yang mengaburkan bentuknya. Kekecewaan atas sebuah harapan atau memang tidak sadar dengan aktifitas lain membuatnya seolah dirinya menjadi seseorang yang paling lelah dari eksistensi lain

Rasa kecewa itu rumit. Bisa tumbuh dari harapan kecil yang dibiarkan liar. Bisa mekar dari keinginan sederhana yang dilupakan. Bisa juga muncul dari ekspektasi tanpa nama yang datang dari ruang dalam kepala kita sendiri.

Mungkin hidup memang bukan soal siapa yang paling tahan banting. Tapi siapa yang paling bisa menata ulang reruntuhan dan tetap berdiri tanpa marah-marah ke dunia. Karena kadang yang kita benci bukan realita, tapi kenyataan bahwa kita harus menyesuaikan diri dengan kenyataan itu.

Dan kalaupun nanti semua ini berhenti, semoga bukan karena kalah. Tapi karena akhirnya paham: bahwa tidak semua hal perlu dipaksakan untuk terus bergerak. Kadang cukup dibiarkan diam, dan pelan-pelan… meski ga akan pernah bisa sembuh.

Bias Dalam Sebuah Sebentar Lagi

Kadang emang bingung, di tengah pergeseran fungsi platform. Hal yang dulu buat berbagi, sekarang jadi tempat ngerasa bersaing tanpa kompetisi yang jelas. Semua ditakar dari siapa yang paling keras ngomongnya, bukan dari mana isi katanya berasal.

Gua sebenernya bukan karakter yang bakal nunggu mood gua bagus untuk bertindak, buat apapun itu. Kalau nunggu, keburu ilang bentuknya. Kadang justru saat paling berantakan malah jadi yang paling jujur. Saat semua terlepas dari skema rapi, dan tinggal sisa-sisa logika yang dipaksain nyambung.

Yang kedua, dari segala sesuatu yang pernah terjadi. Dari penghindaran panjang bahkan layaknya misteri yang tak pernah terpecahkan bak sebuah enigma. Dirintis oleh kesunyian. Membuat goyah, membuat gusar, namun juga membuatnya liar seperti tak pernah terkendali. Jan bicara mimpi!

Anjay, asik bat.
Transisi kepribadian manusia, banyak pasti yang bilang dan ngeiyain “Buyar kan ketika ada yang bilang manusia sepemaaf ini tapi yang dilihat cuma egoisnya aja, kocak.” Apa bedanya sama cerita si rajin yang tiba-tiba jadi yang suka cerita-cerita ngebanggain diri. Padahal yang gua tau, kala sisabar udah mulai ngomong ini, karakteristiknya menjadi berubah dan ini kalo dicerita dipengajian gua bisa aja jadi suul bukan si husnul

Selaras waktu mengasingkan diri dengan yang namanya dialektika pemikiran yang tak akan pernah mungkin bisa dapat berujung. Memuai sesuatu yang dikendalikan dan dirintis bukan oleh diri sendiri, memainkan banyak peran sampai lupa sesuatu menjadikannya menjadi bukan siapapun di sini.

Konsisten emang perlu. Memangku banyaknya hal dalam satu genggaman, meski sebenarnya kepalannya tak pernah sekuat dulu. Ini bahkan bisa menandingi harkat seseorang yang kita kenal sebagai ksatria muda dari Avalon yang berdarah campuran antara manusia dan peri yang mewarisi roh dari Excalibur.

Kadang suka mikir: siapa sih yang ngatur semua peta ini? Jalan hidup yang ngacak, perasaan yang lari kemana-mana, dan orang-orang yang datang tanpa kode etik, terus pergi tanpa pamit. Kalau ditanya rasanya kayak apa, paling cuma bisa bilang: ya udah, begitu.

Konsistensi merangkai banyak hal dalam cerita, tak pernah bosan, tapi membuatnya menjadi sepi. Bias lain dalam ranah yang sama, menghanyutkan. Lama-lama bisa jadi kecanduan narasi sendiri, padahal kenyataannya nggak pernah segitu indahnya.

Lucu sih, ketika yang dilihat cuma hasil akhirnya doang. Orang ngomong, “wah, enak ya hidup lo,” padahal yang dilihat cuma potongan paling terang di antara reruntuhan keputusan yang dulu penuh ragu.

Setelah urusan selesai, tak akan ada gemuruh. Barangkali hanya diam yang pelan-pelan menjemput, dan rasa lega karena tidak ada lagi yang perlu dijaga. Mati bukan musuh, justru itu kan yang dikatakan sebagai pelepasan diri dari benalu. Bahwa dari banyaknya desahan kata yang sering lu pada tau tentang gua, ga bakal heran kata-kata ini ada. Hanya perhentian terakhir dari semua kebisingan.

Tapi selama masih di sini, selama masih bisa nulis, ya terus aja ditulisin. Entah akan dibaca atau enggak. Entah ada yang paham atau malah diledek. Karena ini bukan tentang diterima, tapi tentang tidak menumpuk luka di dalam tanpa nama.

Kadang hidup ini bukan tentang menang. Kadang cuma tentang enggak nyerah, meski arahnya udah gak karuan. Kalau dipikir-pikir, mungkin yang paling berani adalah tetap jalan walau enggak yakin ujungnya bener.

Karena di akhirnya nanti, yang ditanya bukan siapa yang paling benar, tapi siapa yang tetap jadi dirinya sendiri walau dibentuk ribuan kali oleh keadaan yang tak pernah adil.

Sunyi yang dianggap suatu kecintaan

Beberapa hal diciptakan bukan untuk dimengerti, hanya untuk dirasakan, lalu hilang. Sama halnya dengan perasaan yang datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, dan pergi tanpa penjelasan. Cinta misalnya, kadang diperkenankan sebagai suatu ilusi yang dibuat biar nggak takut sama yang namanya kesepian. Bukan karena ingin memiliki, tapi hanya ingin tahu bahwa masih ada yang bisa menggenggam saat malam terasa terlalu dingin. Tapi ilusi itu, kalau dibiarkan terlalu lama, bisa berubah jadi harapan. Dan harapan, seperti biasa, jarang berpihak.

Dalam hidup, banyak hal yang tidak pernah bisa direncanakan. Termasuk siapa yang datang dan siapa yang pergi. Kadang sudah dijaga, dijemput, diperjuangkan, tapi tetap saja menghilang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Lalu yang tertinggal hanya diri sendiri, dengan tanya-tanya yang tidak tahu harus dilempar ke siapa. Sering kali bukan soal kehilangan orangnya, tapi kehilangan diri sendiri di tengah proses itu yang jauh lebih menyakitkan. Dan tidak semua kehilangan bisa diobati waktu. Ada yang justru makin terasa nyata seiring waktu berjalan.

Kesepian itu bukan karena tidak ada orang, tapi karena tidak ada yang benar-benar hadir. Dunia bisa ramai, notifikasi bisa banyak, suara bisa terus berdengung karena emang pada dasarna didalam kepala tetap sepi. Dan sepi itulah yang sering membuat jatuh cinta. Bukan spesifik pada yang namanya orang, tapi pada kemungkinan diselamatkan. Maka tak jarang berpura-puraikut bermain dalam cerita yang tidak ditulis sendiri. Berharap akhir yang manis dari naskah yang bahkan tidak tahu siapa pengarangnya.

Semua penggambaran mencerminkan dan merefleksikan pada suatu luka, luka yang layaknya guru, tapi ya emang pelajarannya pahit banget. Kadang terlalu pahit sampai-sampai untuk berpura-pura untuk nggak ngerti apa maksudnya. Tapi yang lucu, pelajaran dari luka itu selalu ngikut. Setiap mau mulai sesuatu yang baru, muncul lagi bawa catatan lama. Mengingatkan, kadang juga menakut-nakuti. Tapi justru dari sanalah pembentukan terkait mengetahui batas dibuat. Tahu kapan harus berhenti, kapan harus menyerah, dan kapan harus belajar menerima bahwa tidak semua yang kita inginkan harus dimiliki dan yang lebih penting selalu tahu bahwa ekspektasi pada hal ciptaan tuhan tak pernah bisa diandalkan.

Ada hal-hal yang tidak butuh jawaban, hanya butuh diterima. Misalnya, kenapa orang baik bisa disakiti? Atau kenapa seseorang yang sudah mencoba segalanya tetap tidak dipilih? Semua itu bukan soal layak atau tidak, tapi soal waktu dan arah. Dan sering kali, arah yang dituju tidak pernah sejalan dengan arah yang dunia siapkan. Maka bertabrakan pun tidak bisa dihindari. Yang bisa dilakukan hanya memperkecil luka ketika benturan datang, dan mengurangi ekspektasi agar jatuhnya tidak terlalu keras.

Beberapa hal datang dalam hidup bukan untuk tinggal, tapi untuk mengacaukan. Bukan untuk memberi pelukan, tapi memberi jarak agar tahu betapa perihnya berjalan mau itu bergerombol layaknya cewe gajelas atau sendirian. Dan saat tuhannya terasa pergi, bukan berarti itu salah. Mungkin memang yang terlalu berharap bahwa semua orang punya niat yang sama seperti mencinta dengan cara yang utuh atau mengagumi dengan cara yang amat buta. Padahal tidak semua orang tahu cara mencinta. Beberapa hanya tahu cara menyenangkan dirinya sendiri, dengan ego yang selalu diiringi dan diperbarui setiap bangun tidur atau bertambah seiring visual masuk dan dicerna dari scroll scroll akun sosial kayak ig atau tikotok.

Tumbuh dengan ide bahwa cinta adalah hal baik. Tapi tidak ada yang bilang bahwa cinta juga bisa jadi racun. Cinta bisa membuat seseorang bertahan di tempat yang menyakitinya. Bisa membuat seseorang lupa pada siapa dirinya. Bisa juga membuat seseorang rela menjadi versi yang ia sendiri tidak kenali, hanya demi dilihat dan diterima. Di titik itu, cinta bukan lagi soal saling. Tapi soal siapa yang lebih dulu habis.

Ada yang membuat sesuatu merasa dilihat, didengar, dipahami. Tapi setelah pergi, justru membuatnya menjadi tidak lagi bisa merasa yang sama pada hal apapun. Datang sebagai pelengkap, tapi pergi sebagai kekosongan,mengisi celah yang tidak pernah mungkin bisa sadari, lalu mencabutnya sampai meninggalkan lubang. Lubang itu tidak bisa diisi ulang, hanya bisa diterima sebagai bagian dari struktur diri yang baru. Ada versi yang ikut mati saat sesuatu dibiarkan pergi.

Bukan berarti semua hal terkait kecintaan dan kesunyian itu menyakitkan, iya gua setuju. Tapi beberapa cinta memang datang bukan untuk dibalas. Kalau dianalogikan seperti halnya manusia.  Ia hanya mampir dan memberi rasa, lalu hilang begitu saja. Dan tugasnya sebenernya bukan untuk menggenggamnya terus, tapi untuk belajar merelakannya seperti angin yang lewat dan hanya menyisakan bau hujan yang sebentar. Itu pun kalau beruntung. gimana kalo engga? dodonanan

Semua orang ingin dimengerti. Tapi tidak semua tahu cara menjelaskan. Maka banyak yang memilih diam, menyembunyikan rasa, dan berharap ada yang bisa mengerti hanya dari tatap mata yang murung. Tapi kenyataannya, tidak ada yang bisa membaca isi hati seakurat itu. Jadi yang tertinggal hanyalah ekspresi yang salah diterjemahkan, dan perasaan yang tidak sempat tersampaikan.

Lama-lama menjadi belajar untuk tidak terlalu berharap pada siapa pun menjadi acuan. Bukan karena ingin jadi dingin, tapi karena tidak ingin lagi patah karena hal yang sama. Kita mulai paham bahwa yang paling bisa diandalkan hanya diri sendiri. Dan dalam kesadaran itu, tumbuh semacam ketenangan walau kadang terasa dingin sekali.

Dan kalaupun nanti cinta datang lagi, mungkin bukan dalam bentuk puisi atau rayuan. Tapi dalam bentuk kehadiran yang konsisten, dalam diam yang tidak membuat gelisah, dan e:w dalam pelukan yang tidak menjanjikan apa-apa selain kata “aku di sini” njir wkwkwk. Itu saja sudah cukup untuk tidak merasa sendirian di dunia yang penuh suara, tapi sedikit sekali yang benar-benar mau mendengar. sesuatu yang abstraksi ini entah kenapa jadi nyambung seakan-akan gua ngomongin kecintaan terhadap makhluk manusia