Penyesalan yang Tidak Punya Akhir

Kadang hidup terasa seperti naskah yang nggak pernah terbaca sebelumnya. Manusia-manusia yang kayak kita yang cuma main peran berdasarkan kondisi sesuai situasi hati sendiri, tanpa tahu kapan adegannya selesai. Dan di tengah semua ketidakpastian itu, ada momen-momen yang menghantam begitu keras sampai rasanya dunia kerap menjadi berhenti sebentar. Iya sih sedih, seperti tahu bahwa ternyata di balik dinding rumah sakit banyak melibatkan banyak orang-orang yang berdoa yang paling tulus. Mereka bukan bagian dari drama besar yang dibicarakan di luar sana, tapi justru merekalah yang menjaga napas harapan agar tidak padam sepenuhnya.

Namun, tidak semua cerita kehilangan dibungkus sederhana. Ada kisah yang bentuknya seperti perumpamaan yang sangat panjang dan belibet, penuh lika-liku yang membuatnya lupa di mana awalnya dimulai. Cerita seperti ini bukan cuma tentang siapa yang pergi, tapi juga tentang semua percabangan rasa yang muncul dari setiap keputusan kecil yang pernah diambil.

Sering kali, kehilangan dibingkai dan dibungkus menggunakan narasi musibah atau x atau hal lain yang sekiranya bisa membuat orang-orang lain tertrigger untuk nggak bisa kontrol reaksi atas fenomena dan tujuannya agar percaya dan nggak nuntut. “Memang sudah jalannya,” atau “Itu sudah takdir” menjadi kalimat pengaman yang dipakai supaya semua padahal diam. Padahal di balik kalimat itu, ada luka yang nggak diobati, hanya ditutup rapat-rapat supaya nggak terlihat.

Lara dan kesedihan, bahkan nggak bisa bertahan lama meskipun elu tuh udah mati karena ada beban lain buat yang merasa ditinggal. Dan atas pembiaran yang hanya walau sekali itu. Setidaknya meski bukan bias rasa bersalah, namun menyesal menghampiri karena tidak tahu bahwa itu yang fatal. Rasanya seperti dipukul dari belakang saat sudah kelelahan berlari, kata bagusnya adalah ketika nggak siap, nggak sempat bersiap, dan hanya bisa menerima dalam keadaan kacau.

Kadang yang paling menyiksa bukan kematiannya, tapi semua hal yang terjadi sebelum itu. Percakapan terakhir yang dingin, pertemuan yang tertunda, tatapan yang nggak dibalas. Semua potongan kecil itu membentuk satu gambar besar yang cukup untuk bikin perasaan luntur melenyos dan ingin mundur serta mengganti satu momen saja, berharap itu cukup untuk mengubah akhir ceritanya.

Ketika luapan amarah yang keluar, entah karena terlalu banyak menahan dan memendam, berakhir dengan penyesalan yang nggak bisa dielakkan. Padahal banyak kesempatan buat memaafkan dan melihat. Tapi lagi dan lagi, Tuhan ngerasa seneng banget ngasih kematian dengan segampang itu. Rasanya seperti hukuman instan yang nggak ada ruang untuk revisi atau klarifikasi.

Musibah seperti ini selalu membuat orang bertanya, kenapa dia? Kenapa sekarang? Dan jawaban yang datang seringkali cuma potongan kalimat religius yang berfungsi lebih sebagai penutup percakapan ketimbang pembuka pemahaman. Mungkin karena memang tidak ada jawaban yang benar-benar memuaskan. Kehilangan tetap kehilangan, sekencang apa pun kita memeluk keyakinan bahwa ada rencana yang lebih besar yang dikecewakan.

Yang tersisa setelahnya adalah ruang kosong yang nggak pernah sepenuhnya terisi. dari ruangan yang sebenarnya cuma bisa mengisinya dengan aktivitas, dengan pekerjaan, bahkan dengan tawa palsu. Tapi di waktu-waktu tertentu, ya saat malam terlalu hening atau hujan terlalu pelan, celah mengerinyit dan menyakitkan dari ruang itu terbuka lagi, dan semua kenangan yang dipikir sudah rapi tersimpan kembali berantakan di lantai hati.

Ada orang yang memilih melupakan, tapi ada juga yang sengaja mengingat agar rasa bersalahnya tetap hidup. Bukan karena mereka suka menyiksa diri, tapi karena takut kehilangan rasa itu sama saja dengan kehilangan bagian terakhir dari sesuatu yang sudah pergi. Mengingat jadi semacam ritual yang menjaga keterhubungan, walau yang dijaga hanyalah rasa sakit.

Dan seperti semua rasa sakit, ia akan berubah bentuk. Awalnya tajam dan menusuk, lalu menjadi tumpul tapi berat, tak menyakitkan lagi namun tak bisa melepaskan diri. Bisa membawanya kemana-mana, tapi beban itu tetap terasa. Kadang malah lupa rasanya hidup tanpa beban itu. Ia jadi bagian dari identitas, sesuatu yang dikenali sebagai bagian dari terjemahan kata benda “kita” sekarang.

Perjalanan berdamai bukan soal menghapus luka, tapi menerima bahwa luka itu nggak akan pernah hilang. Ada hari di mana bisa tersenyum lebar, ada hari di mana cuma ingin tidur dan nggak bangun sampai rasa itu reda. Tapi redanya pun bukan hilang, tapi hanya berganti warna.

Pada akhirnya, kehilangan membuat mengerti bahwa waktu adalah mata uang yang paling mahal. Dan ironisnya, semuanya baru disadari nilainya saat tabungan itu sudah habis. Mungkin iya nggak bisa mengulang secara percis, tapi bisa memilih untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama walah reka adegan dan reaksi yang ada dihati sudah berbeda. Walau itu pun, kadang cuma doa yang dikirimkan kepada diri sendiri di tengah malam yang terlalu sunyi.

Dan di titik itulah, semuanya mulai berjalan lagi. Bukan karena sudah siap, tapi karena dunia nggak pernah memberi pilihan lain selain terus melangkah. Luka ikut berjalan bersama dan tidak lagi menyeret ke belakang, tapi mengingatkan bahwa setiap detik yang dipunyai sekarang adalah utang yang harus dibayar dengan hadir sepenuhnya.

Reaksi yang Menggema di Ruang Sunyi

Sudut pandang yang bagus dan mungkin relevan untuk kehidupan yang memang rada agak buat saat ini, keterlibatan sesuatu bahwa fenomena mengundang banyak reaksi. Sebagian menyebutnya sebagai bentuk pelupaan sejarah atau mungkin sebenarnya cara kerjanya adalah menyunting dan membuat garis sejarah baru yang sebetulnya tak akan pernah mungkin eksis di linimasa manapun kali. Sebagian lagi melihatnya sebagai bagian dari transformasi budaya. Apa pun nama yang dilekatkan, reaksi itu selalu punya lapisan emosi yang tak bisa disamakan antara satu orang dengan lainnya. Ada yang marah, ada yang cuek, dan ada yang justru memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi.

Fenomena yang memicu banyak kepala berpikir biasanya akan memunculkan dua kelompok, ya emang dari dua kelompok inilah ada yang mau mencari akar masalah, dan sisanya malah ada yang sibuk membungkus masalah itu agar tampak rapi dari luar (tapi tau lah kalo busuk itu busuk aja). Di fenomena inilah peristiwa tarik ulur terjadi, di mana kejujuran sering kali kalah oleh estetika kepentingan. Dan yang paling mengkhawatirkan, ini bisa jadi tanda bahwa pelajaran dari masa lalu sedang diabaikan perlahan-lahan.

Bahwa nyatanya nih ya, dari perspektif manapun sangat terasa menggelisahkan. Bukan cuma karena efeknya besar, tapi karena cara orang menanggapinya sering kali menunjukkan bahwa empati dan logika bisa jadi barang mewah. Ketika suara yang paling keras adalah suara yang diatur untuk menang, yang benar-benar jujur malah terdengar seperti bisikan di tengah bising pasar.

Problem utamanya adalah berkutat pada hal yang berkaitan dengan dirinya yang terlalu manipulatif ketimbang makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Seolah dunia ini hanya punya satu pusat yaitu dirinya sendiri. Semua cerita, semua kejadian, semua penderitaan orang lain diukur dari seberapa besar pengaruhnya pada hidupnya. Di titik ini, objektivitas runtuh, dan yang tersisa hanyalah permainan cermin yang memantulkan bayangan ego.

Manusia memang punya kebiasaan unik, menganggap masalah orang lain sebagai tontonan, tapi masalahnya sendiri sebagai tragedi besar. Ada paradoks aneh di sini, di mana kita sering meminta pengertian, tapi jarang benar-benar memberikan pengertian. Kita ingin dipahami tanpa harus memahami, ingin didengar tanpa benar-benar mendengar.

Reaksi atas fenomena besar sering kali juga diwarnai perasaan yang tak seragam. Ada yang bergerak cepat dengan niat membantu, ada yang menunggu momentum demi kepentingan sendiri. Di tengah kerumunan ini, sulit membedakan mana yang benar-benar peduli dan mana yang sekadar tampil peduli. Mungkin ini memang sifat dasar yang tak akan pernah hilang, hanya berganti kemasan setiap zaman.

Iya sih sedih, seperti tahu bahwa ternyata di balik dinding rumah sakit banyak melibatkan banyak orang-orang yang berdoa yang paling tulus. Mereka mungkin tak terlihat, tapi mereka ada. Mereka yang menunggu di kursi plastik selama berjam-jam, yang merapal doa dalam diam, yang tak punya kuasa selain berharap pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Momen-momen seperti ini mengingatkan kita bahwa di balik semua kebisingan opini, ada kehidupan nyata yang berjalan sunyi tapi penuh makna.

Namun, suara-suara tulus ini sering tenggelam oleh narasi besar yang dibangun di luar sana. Media, politik, dan kepentingan publik lebih tertarik pada drama ketimbang kebenaran. Kisah kecil penuh kesungguhan kalah pamor dari headline yang penuh sensasi. Akibatnya, wajah-wajah lelah di balik dinding rumah sakit itu tak pernah masuk berita.

Ada ironi di situ. Bahwa yang benar-benar menjaga kemanusiaan sering kali bukan yang memegang mikrofon atau duduk di kursi penting, tapi mereka yang namanya tidak pernah disebut. Keberadaan mereka seperti pondasi yang tak terlihat atau setidaknya yang kuat menahan beban, tapi jarang diakui keberadaannya.

Di satu sisi, kita bisa merasa pesimis melihat semua permainan ini. Tapi di sisi lain, justru di titik terendah manusia, ketulusan biasanya muncul. Sayangnya, ketulusan ini sering tidak dipelajari sebagai pelajaran besar, hanya dianggap momen emosional yang sebentar lagi akan dilupakan.

Kalau pola ini terus berulang, kita akan terus punya generasi yang sibuk memoles permukaan tapi tidak pernah menyentuh akar. Mereka akan terus bicara soal perubahan, tapi takut kehilangan kenyamanan. Mereka akan teriak soal empati, tapi mematikan telepon ketika diminta hadir secara nyata.

Mungkin satu-satunya cara bertahan adalah menjaga lingkaran kecil yang masih mau jujur dan masih mau peduli. Tidak untuk menyelamatkan dunia, tapi untuk menyelamatkan bagian kecil dari diri kita yang percaya bahwa kemanusiaan itu belum mati sepenuhnya. Karena selama ada satu saja doa tulus di balik dinding sunyi, masih ada alasan untuk percaya bahwa segalanya belum sepenuhnya hilang.

Jika semuanya berbalik pada hal suaka marga yang bersifat rahasia

Setiap cerita punya permukaan yang terlihat dan lapisan yang sengaja disembunyikan. Orang sering terlalu cepat puas dengan apa yang tampak, tapi juga ada yang gampang panas dengan hal-hal yang sebenarnya adalah ekspektasi diri yang tak memiliki landasan. padahal di bawahnya selalu ada dasar yang lebih keras, lebih kasar, tapi justru itulah yang membentuk pondasi cerita itu. Alas kasar namun dominan sangat digemari oleh mereka yang paham bahwa keindahan tidak selalu harus halus. Ada daya tarik dari sesuatu yang apa adanya, tanpa polesan, meski kadang terasa menyakitkan saat disentuh.

Tidak semua orang punya keberanian untuk menyentuh lapisan itu. Banyak yang berhenti di permukaan karena takut apa yang ditemukan di bawah akan merusak persepsi yang selama ini nyaman. Tapi bagaimana kita bisa mengenal sesuatu sepenuhnya jika hanya berani melihat dari jarak aman? Kedekatan yang sebenarnya membutuhkan risiko, dan risiko itu hampir selalu meninggalkan bekas.

Ada tempat-tempat tertentu yang tidak bisa dijelaskan, tapi bisa dirasakan. Seperti ruangan tanpa pintu yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang membawa kunci di dalam hati. Suaka rahasa dalam perkara tak kasat mata, berujung pada jwang abstraksi semata. Namun esensial dari apapun di kehidupan Tuhan yang sesekali ini. Tidak penting seberapa rumit cara masuknya, yang penting adalah apa yang kita bawa pulang setelah keluar dari sana.

Tempat itu seringkali tidak berada di luar, tapi di dalam diri. Kita yang menutupinya dengan rutinitas, dengan tawa, dengan percakapan kosong. Padahal setiap kali yang dirasakan adalah ketersendirian, ia kembali mengetuk, menanyakan apakah saat ini sudah saatnya dan sudah siap membuka pintunya. Dan setiap kali, memberi jawaban berbeda, tapi dengan rasa takut yang sama.

Di sana, waktu terasa berbeda. Tidak ada jam dinding, tidak ada suara mesin, tidak ada langkah kaki. Hanya keheningan yang sesekali dipecah oleh pikiran yang terlalu keras. Di tempat itu, yang hanya dihadapkan pada cermin yang tidak memantulkan rupa atau wajah, namun justru memantulkan rasa. Tidak semua orang kuat menatapnya, apalagi lama-lama.

Banyak yang mengira bahwa mereka mencari jawaban. Padahal yang mungkin dicari adalah pembenaran. Ada perbedaan tipis di antara keduanya, tapi hasilnya bisa jauh. Pembenaran sering membuat berhenti terlalu cepat, merasa sudah cukup. Jawaban, sebaliknya, justru membuatnya ingin bertanya lagi, menembus lapisan-lapisan yang lebih dalam.

Dan setiap lapisan punya harganya sendiri. Tidak selalu berupa pengorbanan fisik, kadang hanya berupa kejujuran pada diri sendiri. Kejujuran itu sering terasa seperti luka yang baru saja dibuka. Pedih, tapi segar. Menyakitkan, tapi membebaskan.

Di luar sana, dunia penuh dengan naskah yang sudah ditentukan perannya. Orang tinggal menghafal dan memainkannya di panggung masing-masing. Tapi di dalam suaka itu, tidak ada skrip. Semua yang keluar dari mulut dan hati adalah improvisasi. Tidak ada penonton, tidak ada tepuk tangan. Hanya keterseorangan, dan kesadaran bahwa mungkin inilah satu-satunya tempat di mana hal itutidak sedang berbohong.

Jarang bertemu dengan tempat seperti itu dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin hanya sekali dalam beberapa tahun, mungkin hanya sekali seumur hidup. Tapi ketika bertemu, sudah pasti akan tahu bahwa itu bukan sekadar kebetulan. Ada hal-hal yang sengaja diatur untuk membawa ke arah sana, bahkan jika jalannya penuh kebingungan.

Dan ketika akhirnya keluar, membawa sesuatu yang sulit dijelaskan. Bukan karena tidak mau berbagi, tapi karena kata-kata sering kali mengkhianati maksudnya. atau mungkin itu dikeluarkan oleh pikiran dari orang yang tak bisa konsisten dan menggampangkan perasaan orang lain hanya dengan mengedepankan ego tanpa ada nalar kuat yang membackup dibelakangnya. Bagaimana menjelaskan rasa lega bercampur takut, bahagia bercampur hampa, tanpa terdengar gila? Jadi, simpan ajalah, dan biarkan perubahan itu terlihat dari caranya berjalan, caranya menatap, dan caranya untuk menjadi diam.

Mereka yang mengerti, akan mengerti. Mereka yang tidak, akan menganggapnya hanya fase. Dan itu memang tidak akan dipermasalahkan atau menjadi pertanyaan atas tanggungjawab. Tidak semua perjalanan harus diumumkan, tidak semua perubahan harus dijelaskan. Beberapa hal memang hanya untuk konsumsi sendiri.

Mungkin itu yang membuat tempat seperti itu istimewa. Ia tidak bisa direbut, tidak bisa dipalsukan, dan tidak bisa dipercepat. Ia hanya muncul ketika waktunya tiba. Dan saat itu datang, hal-hal lain mungkin hanya bisa berharap cukup berani untuk masuk, menatap, dan keluar dengan hati yang sedikit lebih luas daripada saat pertamakali masuk.

Bahkan, semua tentang keterlambatan yang tak bisa dipungkiri

Ada rasa yang tak bisa diajak duduk diam, apalagi disuruh tenang. Ia hidup di sela-sela denyut jantung yang kadang normal, kadang sesak tiba-tiba. Ia bersembunyi di dalam sorot mata yang pura-pura kuat, tapi berkabut jika terkenang satu momen tertentu. satu momen yang tak ingin diingat, tapi terus datang tanpa permisi. Rasa itu bukan sedih, bukan juga sekadar kehilangan. Tapi gabungan dari semua hal yang tak sempat dilakukan saat seharusnya tangan diulurkan, mulut bersuara, dan keberanian dijemput.

Rasa itu tak akan pernah bisa tenang meski perlahan nyali Tuhan telah berpindah ke korbannya yang lain. Karena yang tertinggal bukan hanya jasad, tapi skenario yang gagal dilengkapi. Pertanyaan yang tak terjawab, isyarat yang tak ditangkap, atau mungkin doa yang datangnya telat. Tidak melulu menyangkal bahwa itu tentang mati, tapi tentang siapa yang tidak sempat datang untuk jadi hidup bagi yang pergi.

Kadang tubuh yang terlihat baik-baik saja, dengan banyaknya aktivitas yang berjalan, percakapan yang mengalir, tawa yang bahkan masih bisa diciptakan dalam gemuruh suatu percakapan yang terasa amat renyah dan baru. Tapi dalam satu waktu yang sunyi, rasa itu menyusup kembali. Ia tidak menyerang, hanya mengingatkan. Bahwa ada satu momen dalam hidup yang tidak akan bisa diperbaiki. Seperti lubang kecil yang tetap menganga meski telah ditambal ribuan kali oleh logika dan nasihat.

Tidak usai hanya dengan meratapi satuan detik waktu. Penyesalan tidak pernah memakai jam tangan. Ia datang kapan pun, bahkan di hari-hari yang terlihat terang. Ia menyelinap saat sedang mencuci tangan atau membuang sampah, hal-hal remeh yang tiba-tiba menjadi pintu ke memori yang tidak pernah bersih.

Ada kesalahan yang tak bisa dibasuh dengan permintaan maaf. Karena yang terluka bukan hanya hati orang lain, tapi juga bagian terdalam dari diri sendiri. Kadang luka itu justru membuat kita sulit memaafkan diri sendiri. Karena tahu bahwa andai bergerak lebih cepat, hasilnya mungkin tidak seperti ini. Tapi waktu, seperti makhluk Tuhan bernama kematian itu, tak bisa memberi toleransi bahkan sedikit pun.

Terlambat menyelesaikan. Terlambat menolong. Terlambat memahami isyarat. Semua itu menumpuk jadi satu beban yang tak bisa dibagikan, karena orang lain mungkin tak akan mengerti. Mereka bilang, “sudah, jangan disesali,” tapi bagaimana bisa? Rasa bersalah punya lidah sendiri yang terus berbicara bahkan di tengah tidur kosong yang tidak memiliki mimpi.

Ada bagian dari hidup yang memang tidak akan pernah selesai. Bukan karena belum diakhiri, tapi karena terlalu dalam untuk bisa disimpulkan. Sukar untuk bisa menulis ulang ceritanya dalam kepala, tapi tetap saja akhirnya akan sama. Karena kenyataan tidak bisa diubah hanya dengan pikiran.

Dan di sanalah, orang lain mengambil manfaat untuk mulai mempelajari bahwa hidup memang berdampingan dengan luka. Bukan untuk menyembuhkannya, tapi untuk mengenal bentuknya. Mengetahui kapan ia datang, dan bagaimana menghadapinya agar tidak meledak sembarangan. Karena luka yang ditekan terlalu lama, bisa menjelma amarah ke orang yang salah. Tapi dari semua pembelajaran ada, memang harus ada korban yang murni dapat dilihat dan dipelajari. Ini sama saja seperti manusia yang menjadi experimen, dipelajari namun dengan cara mengorbankan yang lainnya.

Rasa bersalah yang seperti api kecil yang tidak pernah padam. Tidak membakar, tapi menghanguskan pelan-pelan bagian dalam yang paling rapuh. Ia menyamar jadi ragu, jadi penundaan, jadi kecemasan yang tidak masuk akal. Dan sesuatu yang memeluknya terlalu lama, lama-lama menjadi bagian dari bara itu sendiri.

Tapi hidup tetap harus berjalan, meski dalam hati ada ruang yang retak permanen. Belajar bergerak bukan karena sudah sembuh, tapi karena tidak ingin terlihat mati dalam rasa yang sama setiap harinya meski kehidupan yang dijalanin adalah kesukaran yang sangat basi. Belajar lagi untuk memeluk diri sendiri, bukan karena kuat, tapi karena tidak ada yang bisa benar-benar paham beratnya luka yang di simpan bahkan sekalipun itu adalah Tuhan.

Ada doa-doa yang tidak pernah sampai, tapi tetap dikirimkan setiap malam, bukan karena merayu namun menjadi kebiasaan. Bukan karena berharap jawaban, tapi karena ingin bicara pada semesta yang bisu tuli dan buta bahwa sebenarnya masih tersimpan sesuatu di dalam diri. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tapi terlalu penting untuk dilupakan.

Dan setiap kali malam datang, melulu untuk berhadapan lagi dengan rasa tersebut. Tapi karena memang bukan untuk dikalahkan. Hanya untuk diingatkan. Bahwa pernah ada detik-detik yang gagal untuk kejar, dan itu tidak pernah apa-apa mengingat semua pola mengindikasikan pada jalur yang sama. Bukan untuk dimaafkan, tapi untuk diterima. Karena tak semua yang terlambat bisa dibenarkan. Tapi semua yang sudah terjadi… sudah menjadi bagian dari kehidupan yang dari sananya memang didesain.

Lalu melanjutkan hidup. Bukan sebagai orang yang sama, tapi sebagai seseorang yang pernah terlalu lambat, terlalu diam, dan terlalu takut. Tapi setidaknya masih bernapas, masih berjalan, dan masih mengandai-andai apakah ini artinya untuk tidak mengulang hal yang sama atau karna itu adalah pola jadi akan selalu kabur, meski sesekali rasa itu tetap muncul, untuk bilang bahwa waktu tidak bisa diulang, dan yang terlambat… memang tidak akan pernah selesai.

Yang Tak Diundang, Tapi Suka Datang Tanpa Permisi

Ada malam-malam di mana mata terbuka lebar, tapi hati terasa sempit. Bukan karena masalah baru, tapi karena yang lama masih numpuk di pojok dan belum diberesin. Rasanya kayak duduk di ruang tamu kosong, tapi tahu bahwa ada yang berdiri di belakang pintu, ngetuk pelan-pelan tapi nggak mau disuruh masuk. Cuma nunggu capek duluan, lalu akhirnya buka sendiri. Malam itu cuma dihamparkan bak kain hitam, tapi cerita nyatanya ada di bintang-bintangnya. Bintang yang desain semula merupakan alat untuk pelempar setan, tapi entah kenapa sekarang malah jadi lambang harapan. Ironis ajasi.

Malam selalu menyimpan cerita yang nggak sempat diceritakan siang. Di saat semua orang tidur dan sunyi menguasai ruang, justru di sanalah segala suara batin paling keras berteriak. Yang kita kira udah selesai ternyata masih menyisakan bisikan. Yang kita pikir udah dimaafkan ternyata masih menyisakan rasa sesak. Dan lucunya, dalam gelap itu, perah yang lebih jujur ada. Karena nggak ada yang nonton, jadi nggak perlu berpura-pura kuat.

Beberapa rasa sakit datang seperti kejutan yang nggak pernah diminta. Datang tanpa membawa permen, pulang bawa pelajaran. Emang semua rasa sakit semuanya begitu? Yang tiba-tiba datang seperti tamu yang tak diundang, duduk di sudut pikiran dan menolak pulang meski kita udah bilang, “cukup ya.” Tapi siapa sih yang bisa ngusir perasaan? Kadang semakin diusir, dia malah makin betah. Semakin didiamkan, justru tumbuh.

Pernah nggak sih ngerasa udah cukup dewasa untuk paham bahwa nggak semua yang datang itu harus disambut? Tapi tetap aja, setiap kali rasa baru muncul, balik lagi ke titik nol. Nanya ke diri sendiri dengan suara kecil mengericit ini mau dibawa ke mana? Padahal jawabannya sudah sering ditemukan, tapi tetep aja pengen coba ulang. Mungkin karena manusia itu bukan makhluk pembelajar, tapi makhluk penasaran. Lebih suka mencoba jatuh daripada dikasih tahu bakal sakit.

Ada yang datang sekadar menyapa, ada yang datang untuk mengacak-acak. Ada yang cuma mampir lalu pergi, ada juga yang bertahan tapi kita harap mereka pergi. Semuanya sama dengan tujuan yang konsisten yaitu mengisi ruang yang semula kosong, meninggalkan sisa-sisa suara yang sulit dibungkam. Kadang nggak tahu harus marah ke siapa. Ke mereka yang datang? Atau ke diri sendiri yang terlalu gampang memberi kunci?

Meski diajari bahwa waktu menyembuhkan, tapi nggak ada yang bilang berapa lama. Ada luka yang bertahun-tahun nggak bisa kering, karena setiap kali hampir sembuh, ada satu kejadian kecil yang bikin ngelupas lagi. Dan tiap kali luka itu terbuka, rasanya seperti pertama kali. Perihnya nggak pernah beda, cuma cara menanggapinya yang berubah. Kadang diem, kadang marah, kadang pura-pura nggak terjadi apa-apa tapi tau kan bahwa ekspresi tidak bisa dibohongi.

Sakit itu bukan soal intensitas, tapi tentang posisi dan seberapa dalam dia ditaruh. Ada yang sakit karena beban yang hilang, ada yang sakit karena sesuatu yang tertinggal. Tapi yang paling susah itu sakit karena sadar bahwa semua ini adalah hasil dari keputusan tuhan yang ceroboh. Nggak bisa nyalahin siapa-siapa, karena dari awal memang tahu ini bakal berakhir buruk, tapi ga pernah jadi goblok sendiri karna tetap aja banyak yang jalanin.

Dunia nggak pernah janji bakal adil. Bahkan sejak kecil pun, banyak hal terasa janggal. Yang jujur dibilang bodoh. Yang manipulatif dipuji cerdas. Yang sabar dikira lemah atau goblok. Yang sensitif diminta tebalin kulit karena dibilang baperan. Dan yang peka, lama-lama jadi muak karena sadar peka itu hanya bikin lelah tanpa hasil kecuali dimanfaatkan. Semua nilai-nilai itu jadi bias ketika dijalani di dunia nyata yang serba abu-abu.

Kadang kita cuma pengen tidur panjang, bukan karena pengen mati, tapi karena pengen jeda dari kehidupan. Rehat dari semua keributan, dari semua ekspektasi, dari semua drama yang bahkan bukan milik siapa-siapa. Tapi sayangnya hidup nggak ada tombol pause. Jadi belajar bertahan meski bukan dengan semangat yang sama, tapi dengan sisa-sisa keinginan buat nggak nyerah aja hari ini.

Ada kalanya untuk sadar bahwa nggak semua hal harus dicari maknanya. Beberapa cuma perlu dilewati. Karena kalau semua ditanya kenapa, pasti dah tuh bisa bikin ngerasa gila sendiri. Lebih baik diem dan jalan pelan-pelan. Nanti juga ngerti walau akan terasa telat. Dan kalau pun nggak ngerti, ya udah. Kadang memang nggak ada pelajaran, cuma pengalaman yang lewat aja.

Dan saat akhirnya menengok ke belakang, mungkin bukan tentang siapa yang tinggal, tapi tentang siapa yang sempat nyentuh sesuatu dalam diri lalu pergi. Mereka nggak perlu kembali. Tapi kenangannya seringkali tinggal lebih lama dari yang disangka. Dan di sanalah, suatu proses pembelajaran bahwa kehilangan itu bukan soal akhir, tapi soal awal baru yang lebih sunyi.

Mungkin hidup memang bukan soal meraih. Tapi tentang berani menerima hal bahwa yang datang bisa hilang, yang dekat bisa menjauh, dan yang nyaman bisa berubah jadi yang paling menyakitkan. Tapi ya, di situlah letak keberaniannya, ya ini memang bukan pada hal punya segalanya, tapi tetap bisa bernapas meski kehilangan banyak hal tanpa pernah benar-benar siap.