Ketimpang-egoan

Gue, makhluk biasa yang kebetulan adalah manusia—manusia yang biasa-biasa aja di tengah berjubelnya manusia dan entitas kehidupan di bumi Tuhan ini. Cuma satu titik kecil di lautan tak terhingga, mencoba merangkak menuju sesuatu yang entah apa, sesuatu yang selalu terbesit tanpa arah. Kadang itu cuma sebutan tanpa nama, sering kali cuma jadi istilah nggak jelas yang bahkan gue sendiri nggak ngerti artinya.

Di balik perjalanan ini, ada satu hal yang terus gue rasain: kehancuran. Kehancuran yang datang bukan dari luar, tapi dari satu tangan. Tangan yang selalu gue khawatirin keberadaannya. Tangan itu, sayangnya, adalah tangan gue sendiri.

Ada banyak hal yang terasa nggak adil. Nggak cuma buat gue, tapi juga buat orang-orang di sekitar gue. Gue sadar, kadang gue ada di sisi yang salah. Kadang gue terlalu sibuk mikirin hal yang nggak penting sampai lupa kalau apa yang gue lakuin bisa berdampak ke orang lain. Ironis, ya? Tapi itulah manusia. Kita makhluk yang nggak konsisten.

Dan kalau manusia memang makhluk yang nggak konsisten, gue juga masih ada di bagian itu. Gue nggak beda jauh. Gue masih tersesat, masih nyari arah, masih ngerasain tarikan antara harapan dan keputusasaan. Kadang gue pengen berubah, kadang gue terlalu nyaman di kekacauan gue sendiri.

Mungkin, perjalanan ini bukan tentang nyari kesempurnaan. Mungkin, ini tentang belajar nerima ketidakkonsistenan gue sendiri, tanpa harus berhenti buat berusaha jadi lebih baik. Karena, siapa tahu, di antara semua ini, gue bakal nemuin sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa salah.

Enggak, sementara jari jemari lentik ini terus mengungkapkan apa yang dirasa, perlahan sepertinya ini bukan tentang ketidakkonsistenan. Apa mungkin karena gue menyebutnya terlalu banyak sehingga akhirnya terasa asing, bahkan buat diri gue sendiri? Mungkin ini lebih dari sekadar ketidakkonsistenan. Satu dari sekian banyak faktor yang bikin gue jadi begini, aneh, nggak terdefinisi. Ada ketimpangegoan yang muncul di situ. Lagi-lagi, sesuatu yang nggak bisa dijabarkan.

Kacau. Itu istilah yang pas buat gue sekarang. Kacau, tapi anehnya, gue lagi butuh-butuhnya cacian dari orang yang bahkan nggak ngerti gue. Entah kenapa. Mungkin karena itu bikin gue ngerasa lebih nyata, lebih terasa. Kadang cacian itu lebih jujur dibanding pujian yang manis tapi kosong. Kadang, justru itu yang bikin gue sadar kalau gue masih ada, di dunia yang terus jalan tanpa peduli gue ikut atau nggak.

Dan di sini gue ada. Di tengah kekacauan, ketidakkonsistenan, ketimpangegoan, gue nulis ini. Nggak buat siapa-siapa, mungkin cuma buat gue sendiri. Karena gue tahu, walaupun gue nggak ngerti sepenuhnya, tulisan ini punya cara buat bikin semuanya sedikit lebih masuk akal. Atau, setidaknya, bikin gue merasa nggak sendirian.