Bahkan, semua tentang keterlambatan yang tak bisa dipungkiri

Ada rasa yang tak bisa diajak duduk diam, apalagi disuruh tenang. Ia hidup di sela-sela denyut jantung yang kadang normal, kadang sesak tiba-tiba. Ia bersembunyi di dalam sorot mata yang pura-pura kuat, tapi berkabut jika terkenang satu momen tertentu. satu momen yang tak ingin diingat, tapi terus datang tanpa permisi. Rasa itu bukan sedih, bukan juga sekadar kehilangan. Tapi gabungan dari semua hal yang tak sempat dilakukan saat seharusnya tangan diulurkan, mulut bersuara, dan keberanian dijemput.

Rasa itu tak akan pernah bisa tenang meski perlahan nyali Tuhan telah berpindah ke korbannya yang lain. Karena yang tertinggal bukan hanya jasad, tapi skenario yang gagal dilengkapi. Pertanyaan yang tak terjawab, isyarat yang tak ditangkap, atau mungkin doa yang datangnya telat. Tidak melulu menyangkal bahwa itu tentang mati, tapi tentang siapa yang tidak sempat datang untuk jadi hidup bagi yang pergi.

Kadang tubuh yang terlihat baik-baik saja, dengan banyaknya aktivitas yang berjalan, percakapan yang mengalir, tawa yang bahkan masih bisa diciptakan dalam gemuruh suatu percakapan yang terasa amat renyah dan baru. Tapi dalam satu waktu yang sunyi, rasa itu menyusup kembali. Ia tidak menyerang, hanya mengingatkan. Bahwa ada satu momen dalam hidup yang tidak akan bisa diperbaiki. Seperti lubang kecil yang tetap menganga meski telah ditambal ribuan kali oleh logika dan nasihat.

Tidak usai hanya dengan meratapi satuan detik waktu. Penyesalan tidak pernah memakai jam tangan. Ia datang kapan pun, bahkan di hari-hari yang terlihat terang. Ia menyelinap saat sedang mencuci tangan atau membuang sampah, hal-hal remeh yang tiba-tiba menjadi pintu ke memori yang tidak pernah bersih.

Ada kesalahan yang tak bisa dibasuh dengan permintaan maaf. Karena yang terluka bukan hanya hati orang lain, tapi juga bagian terdalam dari diri sendiri. Kadang luka itu justru membuat kita sulit memaafkan diri sendiri. Karena tahu bahwa andai bergerak lebih cepat, hasilnya mungkin tidak seperti ini. Tapi waktu, seperti makhluk Tuhan bernama kematian itu, tak bisa memberi toleransi bahkan sedikit pun.

Terlambat menyelesaikan. Terlambat menolong. Terlambat memahami isyarat. Semua itu menumpuk jadi satu beban yang tak bisa dibagikan, karena orang lain mungkin tak akan mengerti. Mereka bilang, “sudah, jangan disesali,” tapi bagaimana bisa? Rasa bersalah punya lidah sendiri yang terus berbicara bahkan di tengah tidur kosong yang tidak memiliki mimpi.

Ada bagian dari hidup yang memang tidak akan pernah selesai. Bukan karena belum diakhiri, tapi karena terlalu dalam untuk bisa disimpulkan. Sukar untuk bisa menulis ulang ceritanya dalam kepala, tapi tetap saja akhirnya akan sama. Karena kenyataan tidak bisa diubah hanya dengan pikiran.

Dan di sanalah, orang lain mengambil manfaat untuk mulai mempelajari bahwa hidup memang berdampingan dengan luka. Bukan untuk menyembuhkannya, tapi untuk mengenal bentuknya. Mengetahui kapan ia datang, dan bagaimana menghadapinya agar tidak meledak sembarangan. Karena luka yang ditekan terlalu lama, bisa menjelma amarah ke orang yang salah. Tapi dari semua pembelajaran ada, memang harus ada korban yang murni dapat dilihat dan dipelajari. Ini sama saja seperti manusia yang menjadi experimen, dipelajari namun dengan cara mengorbankan yang lainnya.

Rasa bersalah yang seperti api kecil yang tidak pernah padam. Tidak membakar, tapi menghanguskan pelan-pelan bagian dalam yang paling rapuh. Ia menyamar jadi ragu, jadi penundaan, jadi kecemasan yang tidak masuk akal. Dan sesuatu yang memeluknya terlalu lama, lama-lama menjadi bagian dari bara itu sendiri.

Tapi hidup tetap harus berjalan, meski dalam hati ada ruang yang retak permanen. Belajar bergerak bukan karena sudah sembuh, tapi karena tidak ingin terlihat mati dalam rasa yang sama setiap harinya meski kehidupan yang dijalanin adalah kesukaran yang sangat basi. Belajar lagi untuk memeluk diri sendiri, bukan karena kuat, tapi karena tidak ada yang bisa benar-benar paham beratnya luka yang di simpan bahkan sekalipun itu adalah Tuhan.

Ada doa-doa yang tidak pernah sampai, tapi tetap dikirimkan setiap malam, bukan karena merayu namun menjadi kebiasaan. Bukan karena berharap jawaban, tapi karena ingin bicara pada semesta yang bisu tuli dan buta bahwa sebenarnya masih tersimpan sesuatu di dalam diri. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tapi terlalu penting untuk dilupakan.

Dan setiap kali malam datang, melulu untuk berhadapan lagi dengan rasa tersebut. Tapi karena memang bukan untuk dikalahkan. Hanya untuk diingatkan. Bahwa pernah ada detik-detik yang gagal untuk kejar, dan itu tidak pernah apa-apa mengingat semua pola mengindikasikan pada jalur yang sama. Bukan untuk dimaafkan, tapi untuk diterima. Karena tak semua yang terlambat bisa dibenarkan. Tapi semua yang sudah terjadi… sudah menjadi bagian dari kehidupan yang dari sananya memang didesain.

Lalu melanjutkan hidup. Bukan sebagai orang yang sama, tapi sebagai seseorang yang pernah terlalu lambat, terlalu diam, dan terlalu takut. Tapi setidaknya masih bernapas, masih berjalan, dan masih mengandai-andai apakah ini artinya untuk tidak mengulang hal yang sama atau karna itu adalah pola jadi akan selalu kabur, meski sesekali rasa itu tetap muncul, untuk bilang bahwa waktu tidak bisa diulang, dan yang terlambat… memang tidak akan pernah selesai.

Yang Tak Diundang, Tapi Suka Datang Tanpa Permisi

Ada malam-malam di mana mata terbuka lebar, tapi hati terasa sempit. Bukan karena masalah baru, tapi karena yang lama masih numpuk di pojok dan belum diberesin. Rasanya kayak duduk di ruang tamu kosong, tapi tahu bahwa ada yang berdiri di belakang pintu, ngetuk pelan-pelan tapi nggak mau disuruh masuk. Cuma nunggu capek duluan, lalu akhirnya buka sendiri. Malam itu cuma dihamparkan bak kain hitam, tapi cerita nyatanya ada di bintang-bintangnya. Bintang yang desain semula merupakan alat untuk pelempar setan, tapi entah kenapa sekarang malah jadi lambang harapan. Ironis ajasi.

Malam selalu menyimpan cerita yang nggak sempat diceritakan siang. Di saat semua orang tidur dan sunyi menguasai ruang, justru di sanalah segala suara batin paling keras berteriak. Yang kita kira udah selesai ternyata masih menyisakan bisikan. Yang kita pikir udah dimaafkan ternyata masih menyisakan rasa sesak. Dan lucunya, dalam gelap itu, perah yang lebih jujur ada. Karena nggak ada yang nonton, jadi nggak perlu berpura-pura kuat.

Beberapa rasa sakit datang seperti kejutan yang nggak pernah diminta. Datang tanpa membawa permen, pulang bawa pelajaran. Emang semua rasa sakit semuanya begitu? Yang tiba-tiba datang seperti tamu yang tak diundang, duduk di sudut pikiran dan menolak pulang meski kita udah bilang, “cukup ya.” Tapi siapa sih yang bisa ngusir perasaan? Kadang semakin diusir, dia malah makin betah. Semakin didiamkan, justru tumbuh.

Pernah nggak sih ngerasa udah cukup dewasa untuk paham bahwa nggak semua yang datang itu harus disambut? Tapi tetap aja, setiap kali rasa baru muncul, balik lagi ke titik nol. Nanya ke diri sendiri dengan suara kecil mengericit ini mau dibawa ke mana? Padahal jawabannya sudah sering ditemukan, tapi tetep aja pengen coba ulang. Mungkin karena manusia itu bukan makhluk pembelajar, tapi makhluk penasaran. Lebih suka mencoba jatuh daripada dikasih tahu bakal sakit.

Ada yang datang sekadar menyapa, ada yang datang untuk mengacak-acak. Ada yang cuma mampir lalu pergi, ada juga yang bertahan tapi kita harap mereka pergi. Semuanya sama dengan tujuan yang konsisten yaitu mengisi ruang yang semula kosong, meninggalkan sisa-sisa suara yang sulit dibungkam. Kadang nggak tahu harus marah ke siapa. Ke mereka yang datang? Atau ke diri sendiri yang terlalu gampang memberi kunci?

Meski diajari bahwa waktu menyembuhkan, tapi nggak ada yang bilang berapa lama. Ada luka yang bertahun-tahun nggak bisa kering, karena setiap kali hampir sembuh, ada satu kejadian kecil yang bikin ngelupas lagi. Dan tiap kali luka itu terbuka, rasanya seperti pertama kali. Perihnya nggak pernah beda, cuma cara menanggapinya yang berubah. Kadang diem, kadang marah, kadang pura-pura nggak terjadi apa-apa tapi tau kan bahwa ekspresi tidak bisa dibohongi.

Sakit itu bukan soal intensitas, tapi tentang posisi dan seberapa dalam dia ditaruh. Ada yang sakit karena beban yang hilang, ada yang sakit karena sesuatu yang tertinggal. Tapi yang paling susah itu sakit karena sadar bahwa semua ini adalah hasil dari keputusan tuhan yang ceroboh. Nggak bisa nyalahin siapa-siapa, karena dari awal memang tahu ini bakal berakhir buruk, tapi ga pernah jadi goblok sendiri karna tetap aja banyak yang jalanin.

Dunia nggak pernah janji bakal adil. Bahkan sejak kecil pun, banyak hal terasa janggal. Yang jujur dibilang bodoh. Yang manipulatif dipuji cerdas. Yang sabar dikira lemah atau goblok. Yang sensitif diminta tebalin kulit karena dibilang baperan. Dan yang peka, lama-lama jadi muak karena sadar peka itu hanya bikin lelah tanpa hasil kecuali dimanfaatkan. Semua nilai-nilai itu jadi bias ketika dijalani di dunia nyata yang serba abu-abu.

Kadang kita cuma pengen tidur panjang, bukan karena pengen mati, tapi karena pengen jeda dari kehidupan. Rehat dari semua keributan, dari semua ekspektasi, dari semua drama yang bahkan bukan milik siapa-siapa. Tapi sayangnya hidup nggak ada tombol pause. Jadi belajar bertahan meski bukan dengan semangat yang sama, tapi dengan sisa-sisa keinginan buat nggak nyerah aja hari ini.

Ada kalanya untuk sadar bahwa nggak semua hal harus dicari maknanya. Beberapa cuma perlu dilewati. Karena kalau semua ditanya kenapa, pasti dah tuh bisa bikin ngerasa gila sendiri. Lebih baik diem dan jalan pelan-pelan. Nanti juga ngerti walau akan terasa telat. Dan kalau pun nggak ngerti, ya udah. Kadang memang nggak ada pelajaran, cuma pengalaman yang lewat aja.

Dan saat akhirnya menengok ke belakang, mungkin bukan tentang siapa yang tinggal, tapi tentang siapa yang sempat nyentuh sesuatu dalam diri lalu pergi. Mereka nggak perlu kembali. Tapi kenangannya seringkali tinggal lebih lama dari yang disangka. Dan di sanalah, suatu proses pembelajaran bahwa kehilangan itu bukan soal akhir, tapi soal awal baru yang lebih sunyi.

Mungkin hidup memang bukan soal meraih. Tapi tentang berani menerima hal bahwa yang datang bisa hilang, yang dekat bisa menjauh, dan yang nyaman bisa berubah jadi yang paling menyakitkan. Tapi ya, di situlah letak keberaniannya, ya ini memang bukan pada hal punya segalanya, tapi tetap bisa bernapas meski kehilangan banyak hal tanpa pernah benar-benar siap.