“من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان”
Siapa yang tak punya guru, maka setanlah gurunya.
Gue sering denger kalimat itu, dan jujur, bikin gue mikir. Apa artinya semua ini? Apa benar selama ini gue berjalan sendirian, tanpa bimbingan dari siapa pun kecuali setan? Kalau iya, apakah itu buruk? Atau justru, gue harus berterima kasih?
Ilmu yang gue dapet selama ini, sebagian besar datang dari otodidak. Dari mencoba, gagal, jatuh, dan bangun sendiri. Gue nggak pernah diajarin secara langsung cara berjalan, cara bertahan, atau bahkan cara berpikir. Semua datang dari pengamatan, dari kesalahan, dari rasa sakit yang gue tanggung sendiri. Dan, entah kenapa, gue berhasil sampai sejauh ini.
Apa ini artinya gue harus banyak berterima kasih pada pengetahuan yang muncul dari ketiadaan guru? Atau lebih jauh lagi, pada setan, yang katanya jadi “guru” buat mereka yang nggak punya bimbingan?
Gue nggak tahu pasti. Tapi kalau dipikir-pikir, semua yang gue pelajari selama ini memang nggak datang dari tempat suci. Nggak ada guru yang menunjuk arah, nggak ada peta yang bilang “ini jalannya.” Yang ada, hanya jalanan gelap penuh jebakan, tempat gue belajar sendiri cara memprediksi langkah selanjutnya.
Cara gue bertahan juga begitu. Nggak ada yang ngajarin gue gimana caranya tetap berdiri ketika semua terasa runtuh. Nggak ada yang bilang, “ini yang harus lo lakuin supaya lo nggak jatuh.” Gue belajar dari rasa sakit. Dari luka yang gue sembunyikan sendiri. Dari diam dalam hembusan angin yang orang lain sebut takdir, tapi gue tahu itu hanya kekacauan yang gue harus atur ulang.
Dan di situ, gue mulai bertanya. Apa salah kalau gue belajar dari tempat yang nggak sempurna? Apa salah kalau ilmu yang gue dapet nggak datang dari guru yang sah, tapi dari pengalaman yang liar dan nggak terarah?
Mungkin benar, dalam proses ini, setan ikut bermain. Mungkin dia yang berbisik ketika gue mulai ragu. Mungkin dia yang menuntun gue saat gue nggak tahu harus ke mana. Tapi di sisi lain, bukankah itu bagian dari perjalanan? Bukankah setan hanya berfungsi ketika manusia diam? Dan gue nggak pernah diam. Gue terus jalan, meskipun arah gue nggak selalu jelas.
Jadi, apa gue harus berterima kasih? Mungkin iya. Bukan cuma pada setan, tapi juga pada diri gue sendiri, yang terus berjalan meskipun nggak tahu ke mana. Yang terus bertahan meskipun nggak ada yang bilang “lo bisa.”
Dan kalau ini artinya gue salah, gue nggak peduli. Karena yang gue tahu, jalan ini milik gue. Dan kalau gue bisa sampai di sini, itu bukan cuma karena setan atau siapa pun. Itu karena gue, dan karena gue nggak pernah berhenti belajar dari setiap langkah, setiap luka, setiap kesalahan.