Sumpah dan janji. Dua kata yang sering kali terdengar begitu sakral. Dua kata yang, entah kenapa, punya kekuatan untuk membuat seseorang percaya, bahkan ketika kebenaran di baliknya belum tentu jelas.
Gue pernah termakan oleh sumpah dan janji. Terlalu mempercayai kata-kata yang terdengar indah, seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa dijadikan pegangan. Tapi sekarang, gue sadar bahwa sumpah dan janji itu nggak pernah benar-benar pasti. Kadang, itu hanya jadi alat untuk mengikat, bukan sesuatu yang lahir dari kejujuran.
Ya, gue selalu membaur pada kata asing yang sebenarnya mengaburkan kepercayaan. Bahkan dewa-dewapun tidak bisa dipercaya. Diri sendiri? Entahlah. Kadang gue merasa lebih kukuh mempercayai sesuatu yang abstrak di dalam diri sendiri. Bukan karena gue yakin, tapi lebih ke penekanan bahwa gue nggak ingin kecewa pada diri gue sendiri.
Pada dasarnya, sumpah dan janji sering kali cuma tuntutan hati. Sebuah keinginan untuk menyenangkan diri sendiri atau orang lain, tanpa memikirkan apakah itu punya validasi yang objektif. Kita berjanji karena ingin terlihat baik, karena ingin diterima, atau karena ingin meyakinkan diri kita sendiri bahwa kita bisa memegang kata-kata itu. Tapi, pada kenyataannya, apa benar semua sumpah dan janji itu bisa dipegang?
Gue masih tertatih bertahan sampai sekarang. Bukan karena gue nggak mau percaya lagi, tapi karena gue mulai memahami bahwa apa yang dulu gue anggap pasti, sebenarnya nggak lebih dari ilusi. Sumpah dan janji itu indah, tapi indahnya sering kali semu. Ada sesuatu yang kosong di baliknya, sesuatu yang nggak pernah benar-benar menyentuh realita.
Dan itu yang bikin gue mulai mempertanyakan semuanya. Apa gue salah karena terlalu mempercayai? Apa gue salah karena memberikan semua kepercayaan gue pada sesuatu yang nggak pernah punya validasi objektif? Atau mungkin, ini cuma pelajaran lain yang harus gue terima, bahwa nggak semua hal di dunia ini bisa dilihat hitam putihnya.
Sekarang, gue cuma bisa belajar buat nggak terlalu terpaku pada sumpah dan janji. Bukan berarti gue nggak percaya sama sekali, tapi gue mulai tahu bahwa ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar kata-kata. Perbuatan, misalnya. Atau kejujuran yang nggak perlu dihias dengan janji-janji besar. Karena pada akhirnya, janji itu cuma kata. Yang bikin artinya nyata adalah bagaimana itu ditepati.
Gue masih di sini, tertatih, tapi gue jalan terus. Karena meskipun sumpah dan janji pernah bikin gue jatuh, gue tahu gue bisa bangkit lagi. Dan kali ini, gue nggak akan lagi menyerahkan kepercayaan gue cuma pada kata-kata.