Lubang-lubang kecil yang katanya normal

Kadang hidup tuh ga jauh beda sama aktifitas ngoding, udah berasa kayak ngetik panjang-panjang tapi file-nya lupa disave. Dianggap sedang mencipta sesuatu, padahal cuma berkutat pada tab kosong yang tak pernah sempat dibuka ulang. Mungkin ini juga begitu. Masuk ke pola yang serupa: percaya, memberi ruang, lalu hampa. Anehnya, sekeliling tampak tenang-tenang saja.

Cek cek, memang absurd. Seketika kehidupan bergeming atas perlakuan terhadap permainan tanpa rasa bersalah. Seperti diberi papan catur, tapi tak satupun bidak bergerak, dan entah kenapa harus terus berpura-pura mengerti langkahnya.

Dulu pernah merasa cukup dengan proses, puas dengan keindahan tapak kaki dan jejak dari jemari lentik sendiri. Tak butuh hasil, tak cari pengakuan. Dulu memang slelau berkelut pada hal yang emang gabutuh hasil, dan dirasa gua juga akan hidup dengan proses. Tapi ternyata gitu ya rasanya sakit hati, bertubi-tubi dengan banyak skema model atau cara dekil dan kali ini masih berulang hingga menjadi kebiasaan untuk kesekian kalinya, meski memang bukan dengan hal serupa cara curang meremukkan segalanya. berulang ulang menciptakan lubang kecil sendiri, dan berulah bagai hal biasa yang lumrah. kenapa ya? bahkan sabar aja sekarang ga dibutuhin karna mayoritas sudah berubah, menjadi makin membabi buta menginjak seenaknya

Pernah nggak sih ngerasa udah jadi versi yang lumayan baik dari diri yang sebelumnya, tapi tetap dianggap sama saja? Bukan sedang menuntut keajaiban, tapi rasanya aneh juga kalau harus terus dipertanyakan meski sudah berulang menjelaskan. Engga malu? Hidup dengan banyak landasan yang gapernah bisa dipertanggungjawabi? Manusia memang berevolusi, berkembang. Tapi bukan berarti memunafikkan diri atas ego dan situasi hanya untuk menutupi kadar lubang yang dibuatnya sendiri, bukan?

Terkadang terasa seperti bersembunyi dibalik paradigma setan yang sering digunakan sebagai perhiasan makna. Yang salah dibiarkan, yang semu dikemas seolah luhur, dan yang jujur malah apaan? jangankan ditertawakan, ga keliatan.

Jika senar kusut, kesabaran mengurai segalanya. Tapi siapa yang masih bersedia duduk diam memisah benang satu per satu saat banyak tangan malah sibuk menambah simpul?

Jemari lentik yang sebenarnya menghasilkan ketentuan yang ambigu. Satu sentuhan bisa membalik segalanya, dan siapa yang bisa menyalahkan ketika semuanya sudah terlalu kabur bahkan untuk diingat?

Mungkin tulisan ini bukan bentuk keluhan. Hanya pengakuan diam atas tumpukan luka yang tak bisa dijelaskan satu per satu. Hari ini saja. Besok mungkin tak lagi ingat. Tapi setidaknya, ada satu lubang lagi yang terbuka di dinding sunyi, dan kali ini, tidak ingin buru-buru ditambal.

Terbayang-bayang dengan bayangan

Ada satu titik dalam hidup di mana pertanyaan tidak lagi mencari jawaban. Ia hanya ingin diucapkan, sekadar menjadi gema agar sunyi tidak terlalu menakutkan. Di titik itu pula, segala bentuk usaha untuk memahami diri sendiri berubah menjadi perangkap. Semakin dipahami, semakin kacau. Semakin ingin dibereskan, semakin tak terjamah. Mungkin karena memang tidak akan pernah mungkin ada yang bisa dibereskan dan mungkin memang akan melekat menjadi masalah seumur hidup. Seperti yang udah-udah bahwa cuma ada hanya upaya untuk terus berjalan, meski jalannya penuh kerikil dan pengulangan luka yang seolah-olah baru, padahal sudah sering singgah.

Kadang merasa sedang mengejar sesuatu, padahal tidak tahu apa. Kadang merasa sedang lari dari sesuatu, padahal tidak tahu ke mana. Seperti halnya bayangan itu, kadang berlari dari diri sendiri di mana bayangan yang tidak diharapkan selalu ikut menyertai. Ia muncul dalam bentuk rasa malu atas masala’h’lu, penyesalan atas keputusan, dan suara-suara yang terlalu keras di kepala. Sulit mengusirnya, karena sejauh apapun melangkah, ia tetap setia membuntuti, mengendap dalam lengkung cahaya yang samar-samar membentuk siluet rapuh, bobroknya diri sendiri.

Ada banyak hal yang tak terungkap. Bukan karena tak ingin dibagikan, tapi karena siapa pun yang mendengar belum tentu bisa memahami. Atau lebih buruk: menertawakan. Karena itu, semua rasa dikemas dalam diam. Disusun dalam lapisan-lapisan ketahanan yang terlihat kuat dari luar, padahal hanya tumpukan pasir yang siap runtuh kapan saja. Kegelapan menjadi bagian dari diri. Bukan karena mencintainya, tapi karena terlalu lama berdamai dengannya sampai lupa rasanya benar-benar terang.

Seperti halnya kehidupan yang diibarat kata bermain catur dengan bayangan sendiri, yang punya pemikiran dan ego sama seperti diri. Kadang ga akan pernah mungkin bisa menang, kadang cuma ngerasa capek sendiri. Karena apapun langkah yang diambil, lawannya sudah tahu. Karena strategi terbaik sudah bocor sejak awal. Permainan ini tak pernah adil. Tidak pernah benar-benar ada klimaks yang terasa menyenangkan, hanya yang lebih tahan diserang.

Ada hari-hari di mana semua terasa kabur. Yang dekat terasa jauh. Yang jauh justru menetap di kepala. Percakapan demi percakapan kehilangan makna, menjadi rutinitas membosankan yang hanya menguras energi. Bahkan tersenyum pun terasa seperti tugas. Seolah harus meyakinkan dunia bahwa semuanya baik-baik saja, padahal di dalam hati, gemuruh tak pernah berhenti. Ada kerusakan yang tak bisa diperbaiki, hanya bisa ditutupi. Kerusakan yang memang didesain oleh tuhannya sendiri dan dikonsumsi oleh makhluk kecil yang tak bisa apa-apa kecuali menggerutu seumur hidupnya.

Beberapa luka tidak berdarah. Ia hanya tumbuh di tempat yang tidak terlihat. Mengakar di kesadaran, dan muncul dalam bentuk keraguan, sinis, atau rasa takut yang tidak rasional. Tidak semua luka butuh untuk sembuh. Beberapa hanya perlu dibiarkan menjadi bagian dari narasi. Karena menghapusnya justru membuat cerita terasa hambar. Sebab mungkin setiap kejatuhan menyimpan keindahannya tersendiri buat para orang-orang yang sok puitis dan suka mengandalkan kesengsaraan orang dalam bentuk naskah atau plot cerita yang sering dipertontonkan layaknya di sinetron kegemaran emak-emak

Kadang merasa terlalu dewasa untuk berharap, tapi terlalu rapuh untuk menerima kenyataan. Berdiri di tengah ruang abu-abu, menimbang segala hal, mempertanyakan semuanya, dan pada akhirnya kembali ke titik awal. Seraya menyambung semua hal terkait rasa bingung dan gaakan pernah mungkin bisa tau bahwa harus percaya pada apa lagi. Dulu mungkin semua ini terasa lebih sederhana. Tapi makin ke sini, makin terasa bahwa menjadi manusia bukan hanya soal hidup. Tapi juga bertahan dalam ketidakjelasan yang terus berubah.

Ada semacam kesepakatan diam antara diri dan waktu, yang tak perlu diteken dengan kontrak dan tandatangan diatas materai. Bahwa tak semua harus diselesaikan hari ini. Tapi juga tak bisa diabaikan selamanya. Maka, hidup menjadi proses menunda kegilaan. Menjaga diri agar tetap rasional, meski logika sendiri kadang menertawakan isi hati. Bertahan menjadi satu-satunya pilihan, bahkan saat tak tahu lagi untuk apa.

Orang bilang semua akan baik-baik saja. Tapi tidak semua ingin baik-baik saja. Beberapa hanya ingin dimengerti tanpa perlu berubah. Beberapa ingin dibiarkan rusak dengan caranya sendiri, tanpa harus diperbaiki sesuai standar umum. Karena tidak semua kerusakan adalah hal yang buruk. Ada yang justru melahirkan perspektif baru, cara pandang yang lebih jujur terhadap dunia.

Ada ruang dalam diri yang tidak pernah bisa disentuh siapa pun. Tempat segala hal dilempar tanpa aturan. Di sana tersimpan kemarahan yang tak sempat keluar, tangisan yang dipaksa senyum, dan doa yang tak berani diucapkan karena terlalu takut tidak dikabulkan. Di sana, sunyi menjadi teman. Bukan musuh. Karena hanya sunyi yang tidak menghakimi.

Jika pada akhirnya semua ini hanya rangkaian bab tanpa akhir yang pasti, maka biarkan ia mengalir seperti sekarang. Tidak usah buru-buru bahagia. Tidak usah memaksakan penyelesaian. Karena hidup tidak butuh klimaks. Kadang hanya butuh jeda yang cukup untuk bernapas, sebelum lanjut berhadapan lagi dengan bayangan yang tak pernah benar-benar pergi.

Dan kalaupun nanti semuanya reda, bukan berarti sembuh. Bisa jadi hanya karena sudah terbiasa. Karena kemunafikan manusia memang sebobrok itu. pandai bertahan, meski tak paham lagi untuk siapa. Pandai menampilkan versi terbaik, meski yang asli sudah lama hilang bentuknya. Mungkin itu kenapa menatap cermin sekarang terasa seperti bertemu orang asing.

Pada akhirnya, tak perlu menjadi pahlawan untuk menang. Kadang cukup jadi seseorang yang tidak menyerah hari ini. Karena besok, bayangan itu akan tetap ada. Tapi mungkin setidaknya untuk saat ini bisa diajak duduk bareng. Bukan untuk dihindari, tapi diterima sebagai bagian dari diri yang tak sempurna, karena semuanya selalu menjadi bagian dari hal yang amat teramat nyata