Namanya sunyi, simpulnya koyak

Kadang dunia terasa terlalu ramai untuk bisa benar-benar dimengerti. Terlalu banyak suara, terlalu banyak maksud, dan terlalu banyak persepsi yang saling meninju satu sama lain hanya karena tak bisa berdamai dengan sudut pandangnya sendiri. Entah kepentingan siapapun bisa berbenturan satu sama lain meski mereka tinggal dengan tanah yang sama, atau atap yang sama bahkan mungkin saling menghirup nafas yang sama.

Ada banyak peristiwa yang tak perlu diceritakan tapi sudah menjadi predikat rahasia umum atau memang bukan jadi hal baru lagi. Bukan karena tak penting, tapi karena terlalu rumit untuk diceritakan tanpa dipelintir jadi sesuatu yang terdengar lucu atau salah. Jadi akhirnya dipilihlah diam, biar nggak makin kacau.

Maria ‘Magdilemma’, satu sunyi menyambung banyak angan-angan terkait ilusi yang selalu menjadi bagian dari keinginan manusia. Mundur pada deskriptif statik guyonan keterbelakangan mental yang tak pernah berakal, setidaknya membersihkan diri dari pemikiran. Nama yang tidak dimengerti, tapi terus disebut. Simbol dari sesuatu yang bahkan tak pernah hadir sebagai nyata.

Banyak yang terlalu semangat mencari makna, sampai lupa bahwa beberapa hal memang diciptakan tanpa maksud. Hanya eksis. Hanya lewat. Hanya untuk melihat siapa yang terlalu ambisius untuk mengartikan semuanya.

Mengagumi pendapat sendiri seraya merendahkan orang lain, itu tuh emang penyakit yang sering menular lewat percakapan santai. Terlihat cerdas, terdengar meyakinkan, padahal hanya keinginan untuk menjadi yang paling benar. Padahal, kadang dunia tidak butuh kebenaran. Cukup sedikit belas kasih, atau sikap acuh yang akhirnya menjadi kemenangan atas kegusaran.

Simpul yang mungkin koyak, mengikis asa namun tetap bisa bertahan meski tak perlu ombang-ambing ujiannya. Tidak harus menjadi besi untuk mendapatkan korosi, dari oksigen kebutuhan utama yang justru menghancurkannya perlahan. Begitu juga manusia seperti itu. yang bahwa terkadang sesuatu teramat paling dibutuhkan itu yang kian menjadi eksistensi yang paling menyakitkan.

Ada hari-hari di mana semua terasa baik, tapi bukan berarti tidak ada yang salah. Hanya terlalu lelah untuk memperkarakan lagi. Mungkin bukan legawa, tapi hanya mekanisme bertahan yang sudah terlalu sering dipakai.

Bukan tidak ingin bicara, hanya tidak yakin apa masih ada yang mendengar. Atau lebih tepatnya, masih adakah yang mendengarkan tanpa niat menjawab? Karena banyak dari kita hanya menunggu giliran bicara, bukan benar-benar menyimak. dan sisanya? hanya berkutat pada scroll scroll konten tanpa esensi interaksi sosial

Terlalu banyak kata yang ingin disampaikan, tapi bingung mau mulai dari mana. Seolah setiap kalimat adalah pintu ke luka baru yang belum sempat ditutup. Jadi, ya gitu. Diputar-putar aja dulu, siapa tahu nanti ada yang bisa dicerna.

Kadang kesepian justru datang saat sedang bersama. Karena sebetulnya bukan soal jumlah orang, tapi kualitas keberadaan. Ada yang hadir, tapi hampa. Ada yang jauh, tapi tetap mengisi ruang dalam kepala.

Semua orang pernah salah langkah, tapi tidak semua mau berhenti sejenak untuk menilai kembali jalannya. Ada yang memilih terus maju walau tahu jurangnya dekat, karena takut terlihat ragu. Padahal berhenti bukan selalu tentang menyerah. Kadang justru itu bentuk keberanian.

Tertawa juga tidak selalu karena bahagia. Kadang karena lelah menjelaskan. Atau karena sudah tidak punya energi untuk menjadi marah. Jadi ditertawakan saja, biar tidak terasa sekelam itu di kepala.

Pernah nggak sih ngerasa seakan semunya menjadi berubah, padahal mungkin cuma kita yang udah beda cara pandangnya? Bisa jadi bukan mereka yang berubah, tapi kekecewaan yang mengaburkan bentuknya. Kekecewaan atas sebuah harapan atau memang tidak sadar dengan aktifitas lain membuatnya seolah dirinya menjadi seseorang yang paling lelah dari eksistensi lain

Rasa kecewa itu rumit. Bisa tumbuh dari harapan kecil yang dibiarkan liar. Bisa mekar dari keinginan sederhana yang dilupakan. Bisa juga muncul dari ekspektasi tanpa nama yang datang dari ruang dalam kepala kita sendiri.

Mungkin hidup memang bukan soal siapa yang paling tahan banting. Tapi siapa yang paling bisa menata ulang reruntuhan dan tetap berdiri tanpa marah-marah ke dunia. Karena kadang yang kita benci bukan realita, tapi kenyataan bahwa kita harus menyesuaikan diri dengan kenyataan itu.

Dan kalaupun nanti semua ini berhenti, semoga bukan karena kalah. Tapi karena akhirnya paham: bahwa tidak semua hal perlu dipaksakan untuk terus bergerak. Kadang cukup dibiarkan diam, dan pelan-pelan… meski ga akan pernah bisa sembuh.

Bias Dalam Sebuah Sebentar Lagi

Kadang emang bingung, di tengah pergeseran fungsi platform. Hal yang dulu buat berbagi, sekarang jadi tempat ngerasa bersaing tanpa kompetisi yang jelas. Semua ditakar dari siapa yang paling keras ngomongnya, bukan dari mana isi katanya berasal.

Gua sebenernya bukan karakter yang bakal nunggu mood gua bagus untuk bertindak, buat apapun itu. Kalau nunggu, keburu ilang bentuknya. Kadang justru saat paling berantakan malah jadi yang paling jujur. Saat semua terlepas dari skema rapi, dan tinggal sisa-sisa logika yang dipaksain nyambung.

Yang kedua, dari segala sesuatu yang pernah terjadi. Dari penghindaran panjang bahkan layaknya misteri yang tak pernah terpecahkan bak sebuah enigma. Dirintis oleh kesunyian. Membuat goyah, membuat gusar, namun juga membuatnya liar seperti tak pernah terkendali. Jan bicara mimpi!

Anjay, asik bat.
Transisi kepribadian manusia, banyak pasti yang bilang dan ngeiyain “Buyar kan ketika ada yang bilang manusia sepemaaf ini tapi yang dilihat cuma egoisnya aja, kocak.” Apa bedanya sama cerita si rajin yang tiba-tiba jadi yang suka cerita-cerita ngebanggain diri. Padahal yang gua tau, kala sisabar udah mulai ngomong ini, karakteristiknya menjadi berubah dan ini kalo dicerita dipengajian gua bisa aja jadi suul bukan si husnul

Selaras waktu mengasingkan diri dengan yang namanya dialektika pemikiran yang tak akan pernah mungkin bisa dapat berujung. Memuai sesuatu yang dikendalikan dan dirintis bukan oleh diri sendiri, memainkan banyak peran sampai lupa sesuatu menjadikannya menjadi bukan siapapun di sini.

Konsisten emang perlu. Memangku banyaknya hal dalam satu genggaman, meski sebenarnya kepalannya tak pernah sekuat dulu. Ini bahkan bisa menandingi harkat seseorang yang kita kenal sebagai ksatria muda dari Avalon yang berdarah campuran antara manusia dan peri yang mewarisi roh dari Excalibur.

Kadang suka mikir: siapa sih yang ngatur semua peta ini? Jalan hidup yang ngacak, perasaan yang lari kemana-mana, dan orang-orang yang datang tanpa kode etik, terus pergi tanpa pamit. Kalau ditanya rasanya kayak apa, paling cuma bisa bilang: ya udah, begitu.

Konsistensi merangkai banyak hal dalam cerita, tak pernah bosan, tapi membuatnya menjadi sepi. Bias lain dalam ranah yang sama, menghanyutkan. Lama-lama bisa jadi kecanduan narasi sendiri, padahal kenyataannya nggak pernah segitu indahnya.

Lucu sih, ketika yang dilihat cuma hasil akhirnya doang. Orang ngomong, “wah, enak ya hidup lo,” padahal yang dilihat cuma potongan paling terang di antara reruntuhan keputusan yang dulu penuh ragu.

Setelah urusan selesai, tak akan ada gemuruh. Barangkali hanya diam yang pelan-pelan menjemput, dan rasa lega karena tidak ada lagi yang perlu dijaga. Mati bukan musuh, justru itu kan yang dikatakan sebagai pelepasan diri dari benalu. Bahwa dari banyaknya desahan kata yang sering lu pada tau tentang gua, ga bakal heran kata-kata ini ada. Hanya perhentian terakhir dari semua kebisingan.

Tapi selama masih di sini, selama masih bisa nulis, ya terus aja ditulisin. Entah akan dibaca atau enggak. Entah ada yang paham atau malah diledek. Karena ini bukan tentang diterima, tapi tentang tidak menumpuk luka di dalam tanpa nama.

Kadang hidup ini bukan tentang menang. Kadang cuma tentang enggak nyerah, meski arahnya udah gak karuan. Kalau dipikir-pikir, mungkin yang paling berani adalah tetap jalan walau enggak yakin ujungnya bener.

Karena di akhirnya nanti, yang ditanya bukan siapa yang paling benar, tapi siapa yang tetap jadi dirinya sendiri walau dibentuk ribuan kali oleh keadaan yang tak pernah adil.

Sunyi yang dianggap suatu kecintaan

Beberapa hal diciptakan bukan untuk dimengerti, hanya untuk dirasakan, lalu hilang. Sama halnya dengan perasaan yang datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, dan pergi tanpa penjelasan. Cinta misalnya, kadang diperkenankan sebagai suatu ilusi yang dibuat biar nggak takut sama yang namanya kesepian. Bukan karena ingin memiliki, tapi hanya ingin tahu bahwa masih ada yang bisa menggenggam saat malam terasa terlalu dingin. Tapi ilusi itu, kalau dibiarkan terlalu lama, bisa berubah jadi harapan. Dan harapan, seperti biasa, jarang berpihak.

Dalam hidup, banyak hal yang tidak pernah bisa direncanakan. Termasuk siapa yang datang dan siapa yang pergi. Kadang sudah dijaga, dijemput, diperjuangkan, tapi tetap saja menghilang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Lalu yang tertinggal hanya diri sendiri, dengan tanya-tanya yang tidak tahu harus dilempar ke siapa. Sering kali bukan soal kehilangan orangnya, tapi kehilangan diri sendiri di tengah proses itu yang jauh lebih menyakitkan. Dan tidak semua kehilangan bisa diobati waktu. Ada yang justru makin terasa nyata seiring waktu berjalan.

Kesepian itu bukan karena tidak ada orang, tapi karena tidak ada yang benar-benar hadir. Dunia bisa ramai, notifikasi bisa banyak, suara bisa terus berdengung karena emang pada dasarna didalam kepala tetap sepi. Dan sepi itulah yang sering membuat jatuh cinta. Bukan spesifik pada yang namanya orang, tapi pada kemungkinan diselamatkan. Maka tak jarang berpura-puraikut bermain dalam cerita yang tidak ditulis sendiri. Berharap akhir yang manis dari naskah yang bahkan tidak tahu siapa pengarangnya.

Semua penggambaran mencerminkan dan merefleksikan pada suatu luka, luka yang layaknya guru, tapi ya emang pelajarannya pahit banget. Kadang terlalu pahit sampai-sampai untuk berpura-pura untuk nggak ngerti apa maksudnya. Tapi yang lucu, pelajaran dari luka itu selalu ngikut. Setiap mau mulai sesuatu yang baru, muncul lagi bawa catatan lama. Mengingatkan, kadang juga menakut-nakuti. Tapi justru dari sanalah pembentukan terkait mengetahui batas dibuat. Tahu kapan harus berhenti, kapan harus menyerah, dan kapan harus belajar menerima bahwa tidak semua yang kita inginkan harus dimiliki dan yang lebih penting selalu tahu bahwa ekspektasi pada hal ciptaan tuhan tak pernah bisa diandalkan.

Ada hal-hal yang tidak butuh jawaban, hanya butuh diterima. Misalnya, kenapa orang baik bisa disakiti? Atau kenapa seseorang yang sudah mencoba segalanya tetap tidak dipilih? Semua itu bukan soal layak atau tidak, tapi soal waktu dan arah. Dan sering kali, arah yang dituju tidak pernah sejalan dengan arah yang dunia siapkan. Maka bertabrakan pun tidak bisa dihindari. Yang bisa dilakukan hanya memperkecil luka ketika benturan datang, dan mengurangi ekspektasi agar jatuhnya tidak terlalu keras.

Beberapa hal datang dalam hidup bukan untuk tinggal, tapi untuk mengacaukan. Bukan untuk memberi pelukan, tapi memberi jarak agar tahu betapa perihnya berjalan mau itu bergerombol layaknya cewe gajelas atau sendirian. Dan saat tuhannya terasa pergi, bukan berarti itu salah. Mungkin memang yang terlalu berharap bahwa semua orang punya niat yang sama seperti mencinta dengan cara yang utuh atau mengagumi dengan cara yang amat buta. Padahal tidak semua orang tahu cara mencinta. Beberapa hanya tahu cara menyenangkan dirinya sendiri, dengan ego yang selalu diiringi dan diperbarui setiap bangun tidur atau bertambah seiring visual masuk dan dicerna dari scroll scroll akun sosial kayak ig atau tikotok.

Tumbuh dengan ide bahwa cinta adalah hal baik. Tapi tidak ada yang bilang bahwa cinta juga bisa jadi racun. Cinta bisa membuat seseorang bertahan di tempat yang menyakitinya. Bisa membuat seseorang lupa pada siapa dirinya. Bisa juga membuat seseorang rela menjadi versi yang ia sendiri tidak kenali, hanya demi dilihat dan diterima. Di titik itu, cinta bukan lagi soal saling. Tapi soal siapa yang lebih dulu habis.

Ada yang membuat sesuatu merasa dilihat, didengar, dipahami. Tapi setelah pergi, justru membuatnya menjadi tidak lagi bisa merasa yang sama pada hal apapun. Datang sebagai pelengkap, tapi pergi sebagai kekosongan,mengisi celah yang tidak pernah mungkin bisa sadari, lalu mencabutnya sampai meninggalkan lubang. Lubang itu tidak bisa diisi ulang, hanya bisa diterima sebagai bagian dari struktur diri yang baru. Ada versi yang ikut mati saat sesuatu dibiarkan pergi.

Bukan berarti semua hal terkait kecintaan dan kesunyian itu menyakitkan, iya gua setuju. Tapi beberapa cinta memang datang bukan untuk dibalas. Kalau dianalogikan seperti halnya manusia.  Ia hanya mampir dan memberi rasa, lalu hilang begitu saja. Dan tugasnya sebenernya bukan untuk menggenggamnya terus, tapi untuk belajar merelakannya seperti angin yang lewat dan hanya menyisakan bau hujan yang sebentar. Itu pun kalau beruntung. gimana kalo engga? dodonanan

Semua orang ingin dimengerti. Tapi tidak semua tahu cara menjelaskan. Maka banyak yang memilih diam, menyembunyikan rasa, dan berharap ada yang bisa mengerti hanya dari tatap mata yang murung. Tapi kenyataannya, tidak ada yang bisa membaca isi hati seakurat itu. Jadi yang tertinggal hanyalah ekspresi yang salah diterjemahkan, dan perasaan yang tidak sempat tersampaikan.

Lama-lama menjadi belajar untuk tidak terlalu berharap pada siapa pun menjadi acuan. Bukan karena ingin jadi dingin, tapi karena tidak ingin lagi patah karena hal yang sama. Kita mulai paham bahwa yang paling bisa diandalkan hanya diri sendiri. Dan dalam kesadaran itu, tumbuh semacam ketenangan walau kadang terasa dingin sekali.

Dan kalaupun nanti cinta datang lagi, mungkin bukan dalam bentuk puisi atau rayuan. Tapi dalam bentuk kehadiran yang konsisten, dalam diam yang tidak membuat gelisah, dan e:w dalam pelukan yang tidak menjanjikan apa-apa selain kata “aku di sini” njir wkwkwk. Itu saja sudah cukup untuk tidak merasa sendirian di dunia yang penuh suara, tapi sedikit sekali yang benar-benar mau mendengar. sesuatu yang abstraksi ini entah kenapa jadi nyambung seakan-akan gua ngomongin kecintaan terhadap makhluk manusia

Kalo udah selese, trus apa lagi?

Kadang suka mikir, semua hal ini tujuannya ke mana sih sebenernya? Dari kecil didorong buat jadi sesuatu, disuruh kuat, disuruh ngerti. tapi buat siapa? dan untuk apa lagi? Kalau akhirnya cuma balik ke sunyi yang sama, apa semua ini cuma formalitas keberadaan aja? bahkan biarkan saja perang dunia ketiga mencuat. kehidupan manusia tak akan pernah berubah meskipun alatnya tak lagi bebas dan tak lagi sama

Hari-hari berlalu dengan banyak label yang dipasang sendiri ataupun dipaksa orang. Dipuji, dijelekkan, dihargai, dilupakan. Tapi di antara semua itu, tetap aja ada rasa kayak lagi antre sesuatu yang gak pernah pasti kapan nomornya dipanggil.

Pernah kepikiran gitu nggak sih? kalau semua urusan udah selesai, semua maaf udah dikasih, semua dendam udah diluruhkan. Terus apa? Mati bakal datang pas semuanya udah bersih? Atau justru pas semua lagi ruwet-ruwetnya biar nggak sempet pamitan?

Karena jujur, kadang udah ngerasa cukup. Udah selesai ngotot, udah capek nolong, udah gak pengen ngebenerin apa-apa lagi. Bukan nyerah, cuma sadar kalau mungkin ada titik di mana nungguin hidup berubah itu nggak masuk akal lagi.

Kematian tuh kayak kabar yang nggak ada tombol mute-nya. Pelan-pelan tapi pasti, nadanya makin keras seiring kita pura-pura nggak denger, temen gua juga banyak yang udah pergi dengan alasan mati. Dan ketika semua cahaya udah redup, kadang cuma tinggal satu doa yang nggak pernah dikirim karena nggak tau harus ke mana.

Mungkin nanti, mati akan datang pas segalanya lagi biasa aja. Bukan pas menangis, bukan pas berdoa, tapi pas lagi duduk sendiri tanpa beban. Dan waktu itu datang, bukan sedih yang dirasa, tapi ya itu memang adalahakhirnya. Sebuah “akhirnya” yang bahkan gak perlu dijelaskan.

Toh, hidup juga nggak pernah janji bakal jelas, kan? Mungkin memang dari awal ini cuma tentang menjalani lalu melepaskan. Jadi ya, kalau semua urusan udah selesai, apa masih harus tunggu lagi?

Enigma, dalam celah yang selalu aja sama

Menciptakan ruang untuk rasa aman sendiri bukan perkara gampang. Kadang butuh memutus banyak tali, membiarkan beberapa jendela tertutup rapat, dan diam tanpa harus menjelaskan kenapa. Di situ ada perlindungan, meskipun dunia melihatnya sebagai keasingan. Bukan menghindar, hanya tidak lagi ingin dilukai oleh skenario yang terus diputar ulang dengan aktor yang itu-itu juga.

Bau baunya sama, masih dan terstruktur. Tapi terkontrol ga? Lagi-lagi bikin alesan buat nutupin celah. Celah itu selalu ada, seperti lubang tusukan jarum yang dibiarkan menganga, menunggu darah menetes dan rasa bersalah ikut mengering bersamanya.

Kadang ingin berteriak, tapi kepada siapa? Kepada realita? Kepada memori? Atau kepada ilusi masa depan yang bahkan tak pernah sempat disusun dengan layak? Tidak dibelaki kemampuan khusus untuk dapat melakukan kontrol atas banyaknya fenomena model apapun yang akan terjadi, memang absur. Hanya bisa membiarkan diri tertimpa dulu, dan hanya berkutat pada hal terkait bagaimana caranya mengontrol reaksi dan memberikan respon terbaik aja.

Yang kedua, dari segala sesuatu yang pernah terjadi. Dari penghindaran panjang bahkan layaknya misteri yang tak pernah terpecahkan bak sebuah enigma. Dirintis oleh kesunyian. Membuat goyah, membuat gusar, namun juga membuatnya liar seperti tak pernah terkendali. Jan bicara mimpi!

Membenci dan mengutuk adalah adalah pola. Entah apakah esensinya beda antara ke manusia dengan Tuhannya sendiri. Seterah apa pun model kehidupannya, namun ternyata tak acuh dan berusaha tak peduli adalah pilihan yang bisa menyelematkan diri dari riak darah yang tak menentu. Menghindari didihan membuat rusak pada seluruh inti pada siklus. Jahat!

Kadang cuma pengen diem, nonton semuanya dari kejauhan. Tapi tahu nggak? Kebencian menciptakan banyak keajaiban. Kena sih, tapi tuh kadang senyum itu bukan karena bahagia, tapi karena akhirnya ngerti dari mana semua kebusukan itu bermula.

Segala pake kata “cara Tuhan nunjukkin busuknya orang tuh seru dah”, padahal mah busuk mah busuk aja kan ya. Pake dalil, pake perasaan, pake logika spiritual dan tapi ujungnya tetap pembenaran diri sambil injek kepala orang lain.

Topeng ga si itu mah, topeng ga si itu mah, esensinya apa coba. Kadang yang katanya “jujur” justru paling banyak selipan motif. Paling banyak niat yang disembunyikan di balik sudut mata yang pura-pura teduh.

Kalo emang suka membanding-bandingkan, jangan nanggung. Kalo suka menyalahkan, kenapa kaga nyalahin Tuhan atas semua kehidupan dan gerak-gerik situasi, sikap dan pola takdir aja? Aneh banget kalau salahnya selalu di luar, tapi merasa hidup ini adalah panggung yang dipentaskan atas nama pilihan pribadi.

Pernah merasa jadi satu-satunya yang sadar sesuatu aneh, tapi nggak bisa ngomong apa-apa? Karena ngomongnya malah bikin tambah ribet, bikin semua orang gerah. Jadi ya udah, simpan aja, bawa pulang, dan biarkan tumbuh jadi hutan kecil dalam kepala. Ngebul sendiri? ya emang orang lain peduli apa ama gitu gituan?

Kadang hidup ini terasa kayak nonton film yang terlalu lama, dan lupa kenapa awalnya betah duduk. Tapi ya gitu, ada rasa tanggung kalau berhenti di tengah, meskipun ending-nya udah kebaca sejak menit kelima.

Dan pada akhirnya, dari segala letupan marah, kecewa, diam dan ketawa palsu, cuma pengen dicatat satu hal: kalau semua ini bukan pengakuan, ya anggap aja catatan pinggiran. Karena mungkin besok akan muncul celah baru yang baunya masih sama, hanya dibungkus lebih wangi dari sebelumnya.