Kadang, gue pikir gue udah cukup ngerti. Ngerti sama keadaan, ngerti sama orang, ngerti sama apa yang gue jalani. Tapi ternyata, usaha untuk mengerti itu bukan soal ujian. Itu lebih kayak proses menerjemahkan sosok lain yang entah kenapa selalu jadi amunisi tambahan. Amunisi buat apa? Buat terus menekan diri gue sendiri. Bahkan keterlibatan gue, yang sebenarnya cuma pengen jadi tempat “pulang” bagi mereka, malah dianggap sepele. Gue yang dianggap rumah, justru sering diabaikan.
Dan lagi, gue jatuh ke dalam abstraksi. Lagi dan lagi, kayak nggak ada habisnya. Lo tau gimana rasanya jatuh ke sesuatu yang bahkan lo sendiri nggak bisa gambarkan? Itu kayak lo berusaha menyentuh sesuatu, tapi setiap kali lo deket, benda itu hilang. Dan gue, cuma bisa terus mencoba, meskipun capeknya nggak pernah hilang.
Orang bilang, “Lo harus kuat.” Tapi apa itu kuat? Karena kalau lo tau, walau sesakit apa pun keadaan ini, gue tetap aja memaksakan semua kehendak. Bahkan kalau Tuhan sendiri turun dan bilang, “Berhenti,” mungkin gue akan tetap mengelak. Karena ya, ini gue. Kepala batu? Mungkin. Tapi lebih dari itu, ada dorongan di hati gue yang nggak mau kalah—bahkan sama semesta.
Untuk saat ini? Jangan tanya soal prediksi. Buat berpikir aja, gue udah nggak mampu. Gue terlalu larut dalam semua ini. Rasanya kayak dunia gue penuh dengan kutipan klise: “Lies and betrayal.” Kebohongan dan pengkhianatan yang selalu aja jadi bagian dari hidup manusia.
Dan di tengah semua itu, selaksa lara ini terus mengalir. Gue pikir, Tuhan aja nggak butuh berita atau klarifikasi tentang apa yang terjadi di dunia ini. Tapi gue? Gue malah kehilangan kemampuan untuk memfilter informasi. Gue bukan lagi sosok yang objektif. Pikiran gue nggak lagi jadi raja, karena hati gue yang sekarang memegang kendali. Dan hati, lo tau, itu nggak bisa diandalkan. Ketergantungan gue pada apa yang gue rasa malah bikin gue makin tersesat.
Mungkin, ini adalah versi gue yang paling lelah. Atau mungkin, ini cuma bagian dari siklus hidup yang gak pernah berhenti memukul gua.