Lara yang Tertahan dalam Abstraksi

Kadang, gue pikir gue udah cukup ngerti. Ngerti sama keadaan, ngerti sama orang, ngerti sama apa yang gue jalani. Tapi ternyata, usaha untuk mengerti itu bukan soal ujian. Itu lebih kayak proses menerjemahkan sosok lain yang entah kenapa selalu jadi amunisi tambahan. Amunisi buat apa? Buat terus menekan diri gue sendiri. Bahkan keterlibatan gue, yang sebenarnya cuma pengen jadi tempat “pulang” bagi mereka, malah dianggap sepele. Gue yang dianggap rumah, justru sering diabaikan.

Dan lagi, gue jatuh ke dalam abstraksi. Lagi dan lagi, kayak nggak ada habisnya. Lo tau gimana rasanya jatuh ke sesuatu yang bahkan lo sendiri nggak bisa gambarkan? Itu kayak lo berusaha menyentuh sesuatu, tapi setiap kali lo deket, benda itu hilang. Dan gue, cuma bisa terus mencoba, meskipun capeknya nggak pernah hilang.

Orang bilang, “Lo harus kuat.” Tapi apa itu kuat? Karena kalau lo tau, walau sesakit apa pun keadaan ini, gue tetap aja memaksakan semua kehendak. Bahkan kalau Tuhan sendiri turun dan bilang, “Berhenti,” mungkin gue akan tetap mengelak. Karena ya, ini gue. Kepala batu? Mungkin. Tapi lebih dari itu, ada dorongan di hati gue yang nggak mau kalah—bahkan sama semesta.

Untuk saat ini? Jangan tanya soal prediksi. Buat berpikir aja, gue udah nggak mampu. Gue terlalu larut dalam semua ini. Rasanya kayak dunia gue penuh dengan kutipan klise: “Lies and betrayal.” Kebohongan dan pengkhianatan yang selalu aja jadi bagian dari hidup manusia.

Dan di tengah semua itu, selaksa lara ini terus mengalir. Gue pikir, Tuhan aja nggak butuh berita atau klarifikasi tentang apa yang terjadi di dunia ini. Tapi gue? Gue malah kehilangan kemampuan untuk memfilter informasi. Gue bukan lagi sosok yang objektif. Pikiran gue nggak lagi jadi raja, karena hati gue yang sekarang memegang kendali. Dan hati, lo tau, itu nggak bisa diandalkan. Ketergantungan gue pada apa yang gue rasa malah bikin gue makin tersesat.

Mungkin, ini adalah versi gue yang paling lelah. Atau mungkin, ini cuma bagian dari siklus hidup yang gak pernah berhenti memukul gua.

Ouroboros, Skema perulangan tanpa akhir

Jadi nestapa. Terbelenggu dalam, terlalu dalam. Skema ‘pengulangan’ ini seperti lingkaran yang nggak pernah putus. Gue tahu gimana akhirnya kalau ini dilanjutin. Gue tahu rasa sakitnya. Tapi tetap aja gue jalan. Dasar goblok. Goblok yang suka mengklaim sering belajar dan mempelajari, tapi pada kenyataannya selalu jatuh di lubang yang sama.

Kenapa semuanya terasa kayak replay? Seperti hidup gue adalah tape rusak yang terus memutar kesalahan yang sama. Nggak peduli seberapa keras gue bilang ke diri sendiri, “Ini terakhir kalinya.” Pada akhirnya, gue tetap balik lagi ke pola yang sama.

Apa ini soal kebiasaan? Atau lebih dari itu? Apa ini soal kenyamanan dalam kesalahan? Karena setidaknya, kesalahan itu familiar. Setidaknya, rasa sakit yang datang nggak lagi mengejutkan.

Tapi kenapa gue nggak pernah cukup belajar? Gue bilang gue belajar. Gue bilang gue paham. Tapi setiap kali, gue selalu kembali ke skema yang sama. Gue terlalu tahu apa yang akan terjadi, tapi tetap aja gue terus berjalan. Seolah-olah, kali ini hasilnya akan berbeda. Seolah-olah, gue bisa mengubah apa yang sudah jelas nggak bisa diubah.

Dan itu yang bikin gue marah sama diri sendiri. Marah karena gue tahu. Marah karena gue sadar. Tapi kesadaran itu nggak pernah cukup buat menghentikan langkah gue. Gue terperangkap dalam skema ini, bukan karena gue nggak tahu caranya keluar, tapi karena entah kenapa gue nggak pernah benar-benar mencoba.

Mungkin gue cuma takut. Takut keluar dari lingkaran ini, takut menghadapi hal baru yang nggak gue kenal. Atau mungkin, gue cuma menyerah. Menyerah untuk cari jalan keluar, menyerah untuk berharap bahwa ada akhir yang berbeda dari semua ini.

Dan di situ, gue kembali bertanya. Apa gunanya belajar kalau akhirnya gue nggak pernah benar-benar maju? Apa gunanya mempelajari sesuatu kalau itu nggak pernah bikin gue berubah? Apa gunanya tahu segalanya kalau gue tetap aja jadi bagian dari skema pengulangan ini?

Gue nggak tahu jawabannya. Tapi satu hal yang gue tahu, setiap langkah yang gue ambil dalam lingkaran ini cuma bikin gue makin tenggelam. Makin jauh dari apa pun yang sebenarnya gue cari.