Kadang, gue suka ngetes diri sendiri. Ngetes sampai mana gue bisa bertahan, sampai mana gue bisa berani. Bukan hanya ke diri sendiri, gue juga sering nantangin hidup, kayak bilang ke dunia, “Coba aja kasih yang lebih berat lagi.” Tapi lucunya, kalau lo gali lebih dalam, lo bakal nemuin sesuatu yang gue jarang banget tunjukin: ketakutan.
Iya, gue takut. Takut akan banyak hal, meskipun di permukaan, mungkin gue kelihatan kayak orang yang gak takut mati. Karena apa? Karena gue tahu, mati itu pasti. Tapi hidup? Itu yang jauh lebih menakutkan. Karena hidup gak pernah ngasih lo kepastian, kecuali ketidakpastian itu sendiri.
Dan kenapa, ya, semua orang selalu melirik ke arah keegoisan? Seolah-olah itu satu-satunya cara bertahan hidup. Mereka sering menduga, berasumsi lirih tentang apa yang terjadi di balik cerita seseorang. Anehnya, semua itu selalu terdengar benar di kepala mereka. Mungkin karena asumsi memang lebih cepat datang daripada praduga yang penuh pertanyaan. Mereka gak butuh fakta, cukup dengan apa yang mereka rasa benar, udah cukup untuk ngehakimi dunia.
Gue? Gue udah terlalu banyak berada di lembah kelelahan. Berada di titik di mana lo gak pengen lagi ngejelasin apa-apa ke orang lain. Kalau mereka mau berpikir yang buruk, ya, biarin aja. Gue belajar untuk gak terlalu peduli. Karena semakin lo peduli, semakin lo terluka.
Tapi di tengah itu semua, gue selalu berusaha untuk gak terlena. Gue sadar, apa yang gue lihat di dunia ini—egoisme, asumsi, kepalsuan—itu bukan sesuatu yang baru. Itu udah ada sejak awal dunia tercipta. Jadi sebenarnya, gue gak pernah kaget sama apa yang ada di depan mata gue sekarang. Dunia itu memang seperti ini. Semua adalah semua. Dan pura-pura itu bukan pengecualian, tapi bagian dari aturan mainnya.
Dan mungkin, di balik kelelahan ini, ada pelajaran yang selalu gue pegang: hidup itu tentang bertahan, bukan untuk menang atau kalah. Kadang, cuma soal menerima bahwa ya, memang seperti ini adanya.