Hari sial

Hari sial merupakan keseluruhan tempat bernaung semua keluh kesah ego dan teriakan masif atas apa yang terjadi pada sesuatu atas apa yang tuhan lakukan, menjadi perantara tak tertandingi karna tak dapat berkutik karena kesenjangan status. dimana makhluk yang tercipta atas daging darah yang seharusnya tak pernah berhak mempertanyakan. Memberdayakan seluruh kemampuan untuk berpikir sesuatu yang tolak ukurnya tak akan pernah sampai mau bertapa sejauh apapun dan menjadi jenis sage apapun. Bahasa membunuh sesaat sebelum mulut ini berucap. tersimpan sementara dalam pikiran lalu menyerang kesemua aspek.

Situasi-situasi terdalam dimana berbicara hanya akan membuat keruh keadaan. tapi, perlu dicatat mau apapun usahanya, bahwa hal-hal yang menyakitkan mau berapakalipun dilewati, ia tak akan membuat kebal. tidak seperti obat-obat yang dibuat oleh perusahaan farmasi yang terkadang kita harus menuangkan kadar levelnya agar berefek.

Untuk sesuatu yang semu, berkutat pada perlawanan diri terhadap apa yang terjadi. batin bergemuruh meski yang lainnya membisu. menciptakan perang antar ideologi di diri sendiri. entah tak perlu membaca catatan apapun, tak perlu mengetahui situasi apapun, ideologi dan benak tak dapat diurai. setidaknya dari semua stateman yang ada, Sesuatu telah direnggut dan saya mengarungi semua kebodohan dan membiarkan diri hanyut. berpura pura betah dalam ketidaknyamanan.

ingin rasanya mati dalam fenomena seperti ini, mati seperti orang-orang goblok yang banyak gue temui dalam beberapa media masa ternama atau yang biasa aja. ternyata, virus seperti itu juga bisa dialami oleh orang seperti gua yang selalu dapat menelaah dan memecah semua keraguan dan permasalah untuk tetap tenang pada masanya. semuanya memiliki expiration date and time yang tertutup pada label kasat mata sehingga tak pernah tau kapan mulainya dan sejauh apa dampaknya.

Narabaca pikiran yang diperseterukan

Berseteru dengan pikiran adalah luka yang tak bisa diobati. Setiap malam, setiap sunyi, pertarungan itu selalu hadir. Mind, adalah aset terbesar sekaligus musuh paling berbahaya. Pikiran bisa menciptakan keajaiban, tetapi juga bisa menjadi belenggu tak kasat mata. Dalam setiap langkah, rasa sakit itu hadir, menyelubungi tanpa peringatan.

Rasa sakit ini tidak hanya terbatas pada apa yang sedang gua pikirkan. Dalam diam, saat tak ada lagi suara di kepala, yang tersisa hanyalah keraguan. Keraguan tentang siapa gua sebenarnya. Adanya kesakitan ini seperti lubang yang tak kunjung tertutup, semakin gelap semakin dalam.

Kadang gua bertanya pada diri sendiri, kenapa harus gua? Tapi jawaban itu selalu nihil. Ya, gua sangat benci diri gua sendiri. Lebih dari apapun yang ada di bumi ini, lebih dari siapapun, bahkan melampaui jenis dewa apapun… jika itu ada. Kebencian ini nyata, tidak bisa gua elakkan, dan kian hari makin sulit gua sembunyikan. Gua hanyalah bayangan karakter yang goyah. Tidak memiliki integritas, tidak memiliki arah. Lubal Libil Labil Labil.

Orang-orang bilang gua terlalu diam, terlalu memendam. Kenapa gua ga bilang aja dari awal? Mungkin karena gua tahu, di akhirnya akan sama saja. Buang saja ketika tidak ada manfaat atau tidak diperlukan lagi. Seperti barang usang, tidak ada artinya untuk disimpan.

Namun, di antara semua kekacauan ini, gua sadar. Terimakasih telah menyadarkan gua, tapi maaf karena terlalu terlambat untuk menyadari. Kata-kata itu menggaung di kepala gua seperti sebuah ironi yang pahit. Kesadaran itu adalah pisau bermata dua—menyakitkan sekaligus tak terhindarkan.

Setiap hari gua mencoba. Setiap malam gua berusaha semaksimal mungkin mengabaikan emosional ini. Namun, selama apapun gua mencoba, gua tidak akan pernah bisa yakin. Pikiran gua seperti laut yang berombak; tak ada tenang, tak ada tujuan. Setiap harapan tenggelam sebelum sempat muncul ke permukaan.

Tapi mungkin, hanya mungkin, tulisan ini adalah satu cara kecil untuk berteriak dalam sunyi. Sebuah usaha untuk berdamai dengan pikiran, meski tahu hasilnya mungkin takkan jauh berbeda.