Kenapa? Pertanyaan sederhana ini sering kali jadi awal dari perjalanan pikiran yang nggak ada ujungnya. Sebuah kata dengan kekuatan luar biasa, membuka ruang buat menggali sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks. Kenapa? Karena terlalu banyak sandiwara yang diberlangsungkan begitu apik, begitu rapi, sampai kadang sulit buat ngebedain mana kenyataan dan mana ilusi.
Sandiwara itu bukan sekadar permainan peran. Ini lebih kayak seni. Seni yang dimainkan oleh mereka yang paham betul gimana nutupin celah. Mereka sadar tiap langkah, tiap aksi, tapi tetap aja, secara buas dan liar, mereka ngakuin bahwa semua ini adalah kondisi normal. Normal. Sebuah kata yang terdengar biasa, tapi di baliknya ada lapisan-lapisan nggak seimbang yang sering kali nggak kelihatan.
Apa ini semua karena sempat dideklarasikan bahwa gue ikut semuanya? Deklarasi yang mungkin dibuat tanpa pikir panjang, atau justru dengan perhitungan matang, yang akhirnya maksa gue buat masuk ke permainan ini. Sebuah permainan yang nggak cuma melibatkan gue, tapi juga kendali atas apa yang dianggap lumrah. Lumrah, kata yang lagi-lagi menipu, membungkus semua ketidakberesan dalam balutan keteraturan semu.
Padahal, kenyataan di balik semua ini jauh beda. Di yang lain, di luar lingkaran sandiwara ini, hal-hal yang dianggap lumrah itu sebenernya nggak. Di tempat lain, mungkin ada yang ngeliat ini sebagai anomali, sesuatu yang nggak pada tempatnya. Tapi di sini? Semua jalan seperti biasa, seperti nggak ada yang salah.
Dan di sinilah gue sekarang. Ada di persimpangan antara sadar dan pasrah. Sadar bahwa ada sandiwara, ada permainan, ada kendali. Tapi pasrah? Itu cerita yang beda. Apa gue bener-bener pasrah, atau cuma pura-pura kayak mereka yang lain?
Pertanyaan itu terus ngikutin gue. Apa gue bagian dari permainan ini, atau cuma pengamat yang nggak sengaja terjebak di dalamnya? Apa semua ini ada karena gue biarin diri gue buat ikut, atau karena gue emang nggak punya pilihan lain?
Kadang, gue ngerasa ini semua kayak ujian. Ujian buat liat seberapa jauh gue bisa bertahan, seberapa dalam gue bisa nyelam ke lapisan-lapisan kebohongan yang dibungkus rapi. Tapi di sisi lain, ada rasa capek yang nggak bisa dihindarin. Capek karena terus mikir, terus nanya-nanya, terus nyari jawaban.
Kenapa? Pertanyaan itu tetap menggema di kepala gue. Mungkin, suatu hari nanti, gue bakal nemuin jawabannya. Tapi untuk sekarang, gue cuma bisa nyimpen cerita ini di sini. Gue tulis semuanya, gue rangkai tiap detil, sambil berharap bahwa di balik semua sandiwara ini, ada sesuatu yang nyata, sesuatu yang benar.