Apatisme: Sifat Manusia yang Tak Pernah Usai

Manusia. Makhluk yang katanya paling sempurna. Namun, di balik kesempurnaan itu, tersimpan sifat yang begitu mengakar: apatisme. Sifat yang membuat kita sering lupa bahwa ada kehidupan lain di luar diri kita.

Kita hidup di dunia yang serba cepat, serba sibuk, dan serba “aku.” Media sosial penuh dengan pencitraan, tetapi kosong dari empati. Saat seseorang bercerita tentang kesulitan hidupnya, kita malah sibuk membandingkan dengan kesulitan kita sendiri. Kadang, tanpa sadar kita berpikir, “Ah, masalahmu kecil dibandingkan denganku.”

Namun, bukankah itu sifat dasar manusia? Menjaga diri sendiri, fokus pada kepentingan pribadi, dan mengabaikan yang lain. Kita lebih suka menutup telinga daripada mendengar. Lebih memilih diam daripada membantu. Alasannya? Mungkin karena kita takut terjebak dalam masalah yang bukan milik kita.

Lucunya, manusia punya kebiasaan lain yang tak kalah renyah: suka berlindung pada asumsi orang lain. Kita cenderung puas bersembunyi di balik opini mayoritas, seolah-olah apa yang orang banyak yakini pasti benar. Ironisnya, sambil diam-diam ikut arus, kita berteriak, “Aku berbeda!” Padahal, di lubuk hati, kita tahu bahwa apa yang kita lakukan seringkali hanya tiruan dari lingkungan sekitar.

Dan ketika perasaan sedih atau galau melanda, kita malah mencarinya di tempat yang paling bising: media sosial. Kita scroll kata-kata bijak, kutipan motivasi, atau curhatan orang lain, lalu berpikir, “Ini aku banget!” Seolah-olah kalimat-kalimat itu mengerti perasaan kita lebih baik daripada orang-orang terdekat.

Masalahnya, tanpa kita sadari, kebiasaan ini seperti racun pelan-pelan. Kita mulai lebih percaya pada opini orang asing di media sosial daripada pada orang-orang terdekat yang sebenarnya tahu diri kita luar dalam. “Ah, dia cuma bilang gitu karena enggak ngerti.” Kita bilang ini untuk membenarkan tindakan kita. Tapi pada saat yang sama, kita mengizinkan media sosial untuk mendikte cara kita berpikir, menentukan arah hidup, bahkan membentuk ulang jati diri kita.

Integritas? Karakter? Jati diri? Perlahan semua itu tergeser. Bukan karena kita mau, tapi karena kita tidak sadar bahwa dunia digital ini menyedot semua itu sedikit demi sedikit. Kita menjadi versi lain dari diri kita, versi yang dibentuk dari apa yang kita lihat, bukan dari apa yang kita yakini.

Lalu muncul lagi pertanyaan yang sama: Apakah kita bisa benar-benar menjadi diri sendiri tanpa pengaruh dari dunia luar? Atau mungkin kita memang diciptakan untuk selalu bersembunyi, entah di balik asumsi orang lain, opini mayoritas, atau layar ponsel yang selalu menyala?